M. Musri Nauli, SH, Dewan Daerah Walhi Jambi
|
Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.(Pasal 5 ayat (1) UU no. 23 Tahun 1997 Tentang PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP)
Indonesia ditegur oleh negara-negara tetangga, karena tidak bisa mengatasi asap. Berita luar negeri yang menghiasi media massa telah mempermalukan kita di dalam pergaulan internasional. Memang kata-kata pantas terhadap berita itu, adalah MEMALUKAN. Namun pertanyaan umum yang sering kita dengar, apakah kita masih mempunyai rasa malu ?
Dalam pergaulan internasional, Indonesia sering dikecam oleh berbagai persoalan yang sering berulang-ulang. Pada masa orde baru, Indonesia sering dikecam karena sering melakukan pelanggan HAM. Pers dibreidel. Partai hanya dimungkinkan berdirinya 3 partai. Semua organisasi “dipaksa” monoloyalitas kepada doktrin “Pembangunan”, doktrin “Pancasila”, yang sebenarnya bentuk pengekangan di zaman modern. Birokrasi korup, semua urusan mesti menggunakan uang. Lembaga peradilan tidak mandiri, Parlemen tukang stempel dan berbagai pengekangan demokrasi.
Namun ketika Soeharto tumbang, perbaikan masih berjalan di tempat. Indonesia yang seharusnya keluar dari krisis ekonomi bersama-sama dengan Korea Selatan dan Thailand ternyata masih sibuk berkutat dengan problema internal di dalam Negeri. Sudah banyak lembaga-lembaga negara berdiri untuk “memaksa” Pemerintah berubah. Berdirinya lembaga-lembaga tersebut disatu sisi sebagai respon aktif terhadap tuntutan perubahan zaman, disisi lain juga Pemerintah semakin transparan dan terlibatnya rakyat dalam pengelolaan negara.
8 tahun sudah Soeharto tumbang. Apa yang diharapkan oleh rakyat semakin jauh. Di bidang sumber daya alam, kerusakan hutan semakin menjadi-jadi justru ketika otonomi telah diberikan kepada daerah. Pertambangan semakin hancur, bumipun marah. Peristiwa semburan lumpur panas di Lapindo Sidoarjo memberikan catatan kelam terhadap pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Musimpun berganti. Ritual bencana semakin sering terjadi. Musim hujan, Indonesia kebanjiran. Musim Kemarau, Indonesia penuh asap. Dan bencana inipun datanga berulang-ulang. Pertanyaan sederhana timbul. Apa yang salah didalam pengelolaan terhadap sumber daya alam tersebut ?
Hampir praktis, setiap musim kemarau, Indonesia sibuk mempersiapkan juru bicara untuk menjelaskan kepada dunia terhadap masalah asap. Namun menurut berbagai media massa, asap tahun ini merupakan rekor terburuk selama 10 tahun. Penerbangan di Malaysia terganggu. Pelabuhan di Singapura terancam ditutup. Hampir 40 % warga Singapore sudah ke dokter mengenai penyakit akibat asap. Lantas apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia. Yang pasti, para pemimpin nasional maupun lokal akan mengucapkan maaf terhadap akibat asap. Kemudian sibuk mengkalkulasi jumlah titik api, jumlah masker yang akan dibagikan, sibuk membuat himbauan agar masyarakat tidak keluar rumah, dan untuk menenangkan masyarakat, pejabat tersebut membuat pengumuman dan mengajak sholat Istiqosah. Untuk memberikan lips servise, pejabat tersebut juga ikut memadamkan titik api dan kemudian dimuat diberbagai media nasional ataupun lokal pada halaman pertama. Selain itu, yah, paling-paling, mengancam perusahaan pembakar lahan akan diseret dan diproses hukum. Rasanya, media massa telah membuat berita tersebut berulang-ulang tanpa solusi pasti penyelesaian tersebut.
Lantas dimana posisi kita terhadap problema tersebut ? Sebagai bagian dari Negara Indonesia, teriakan kita seakan makin tenggelam. Begitu musim kemarau berlalu, isu asap menghilang. Berganti dengan musim hujan dan tentu saja persoalan banjir pula menghadang. Sudah saatnya cara-cara konvensional didalam mengatasi persoalan ini harus ditinggalkan. Cara-cara yang luar biasa sudah semestinya dilakukan untuk memberikan daya kejut kepada Pemerintah yang gagal memberikan hak yang paling hakiki dari Pengelolaan lingkungan hidup kepada rakyat, yaitu “Hak Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagaimana diatur didalam Pasal 5 ayat (1) UU no. 23 Tahun 1997 Tentang PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
Secara filosofi, negara telah gagal didalam memenuhi hak asasi manusia di bidang lingkungan hidup. Negara telah gagal memberikan apalagi melindungi hak rakyat untuk mendapatkan lingkungna yang sehat. Rakyat yang semestinya pemegang kedaulatan tertinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup diabaikan. Hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan yang sehat seperti Jalan di Pagi Hari untuk olahraga, refresing (jalan-jalan) bersama keluarga dan handai tolan, bekerja pada siang hari ternyata “dipaksa” tidak bisa keluar rumah, memakai masker bahkan rakyat-pun dipaksa “dirumah” seperti di penjara sampai asap ini reda ataupun hilang. Tidak ada upaya nyata yang dilakukan oleh Pemerintah.
Dari perspektif hukum, sudah saatnya Pemerintah mempercepat proses dan mengumumkan kepada publik perusahaan-perusahaan yang terlibat didalam pembakaran lahan dan menimbulkan asap yang berkepanjangan. Cara-cara konvensional didalam memproses kasus dalam pembakaran lahan sudah semestinya ditinggalkan. Titik-titik api (hot spot) yang ditemukan berdasarkan data NOAA yang kemudian ternyata terletak areal perusahaan, maka perusahaan tersebut harus bertanggung jawab. Tidak perlu dibuktikan apakah perusahaan tersebut melakukan pembakaran atau tidak. Perusahaan harus menjaga areal yang telah diberikan dan tentu bertanggungjawab terhadap peristiwa apapun yang terjadi. Sudah banyak ketentuan yang mengatur tentang kewajiban perusahaan menjaga lingkungan hidup dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Yang paling pokok tentu saja UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan apabila perusahaan yang melakukan pembakaran dapat merujuk kepada UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dan terhadap perusahaan yang ternyata terbukti sengaja melakukan pembakaran, selain daripada tindak pidana dapat diperlakukan terhadap para pengurusnya, sudah semestinya, perusahaan juga bertanggungjawab dan perusahaan dapat diproses dimuka hukum. Perusahaan dapat diminta untuk mengganti kerugian akibat yang timbul dari pembakaran tersebut.
Mudah bukan ?