- Hampir tujuh tahun sejak Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus meneken Perda No.13 tentang Pengangkutan Batubara akhir 2012, jalan khusus batubara tak kunjung terbangun. Sampai sekarang, ribuan truk angkutan batubara masih menjejali jalanan umum.
- Dalam catatan Mongabay sejak 2017-2019, setidaknya 35 orang meninggal karena kecelakaan yang melibatkan angkutan batubara. Kecelakaan terjadi di Kabupaten Bungo, Sarolangun, Batanghari, Kota Jambi dan Muarojambi. Jalan di Batanghari, paling mengerikan, lebih 20 orang tewas.
- Angkutan batubara diprediksi meningkat seiring kenaikan harga batubara. Data Dinas ESDM Jambi, menyebutkan, harga batubara pada Oktober 2019 pada kisaran US$21,19 perton, naik US$1,17 dari bulan sebelumnya.
- Sekali jalan, sopir truk batubara bisa dapat uang bersih hanya Rp200.000. Banyak supir akhirnya mengangkut batubara kelewat batas untuk dapat setoran, bahkan hampir dua kali lipat. Mereka juga berburu waktu pengangkutan kedua. Kondisi ini, justru menjadi awal petaka, banyak kecelakaan mulai dari sini.
Jalur khusus angkutan batubara di Jambi, tampaknya hanya jadi janji Pemerintah Jambi. Hampir tujuh tahun sejak Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus meneken Perda No.13 tentang Pengangkutan Batubara akhir 2012, jalan khusus batubara tak kunjung terbangun.
Sampai sekarang, ribuan truk angkutan batubara masih menjejali jalanan umum. “Kalau pagi pas anak sekolah itu puluhan [truk batubara] lewat, kadang miris. Soalnya, habis kejadian mbah [Mbah Senin] itu banyak lagi kecelakaan batubara,” kata Halimah, anak Mbah Senin yang meninggal ditabrak truk batubara pada 2018.
Sampai Oktober 2019, produksi batubara di Jambi mencapai 8,4 juta ton, angka ini sedikit naik dibanding produksi 2017. Lebih dari 2.400 truk pengangkut batubara melintas di jalanan Jambi.
Dalam catatan Mongabay sejak 2017-2019, setidaknya 35 orang meninggal karena kecelakaan yang melibatkan angkutan batubara. Kecelakaan terjadi di Kabupaten Bungo, Sarolangun, Batanghari, Kota Jambi dan Muarojambi. Jalan di Batanghari, paling mengerikan, lebih 20 orang tewas.
Tepat 5 Agustus 2018, di Jalan Lintas Desa Sungai Buluh, Batanghari, Rabandani, anak sekolah tewas dihantam truk batubara. Kepala Rabandani, remuk.
Warga spotan marah dan memblokir jalan lintas di Desa Sungai Buluh. Tiga hari ratusan truk batubara dihadang tak bisa lewat.
Ratusan supir truk batubara yang kesal balik berontak. Mereka menggeruduk Kantor Bupati Batanghari dan DPRD, menuntut Pemerintah Batanghari merevisi Perda No.13 dan segera membuka jalan yang diblokir warga.
“Kami cuma mau cari makan, bukan mesin pembunuh!” kata seorang supir batubara.
Bambang sudah lima bulan jadi supir batubara. Dia kecewa, setiap kali ada kecelakaan, warga langsung memblokir jalan. “Kalau ada kecelakaan, itu masalah pribadi supir yang nabrak, jangan kami semua kena imbasnya.”
Lima hari berselang, keributan terjadi di Muarojambi. Kabar yang beredar supir batubara menyerang warga dengan kayu di Kumpeh. Kontan emosi warga mendidih. Puluhan truk dirusak. Warga gulingkan satu truk truk bermuatan batubara.
Kapolda Jambi dan Bupati Muarojambi, Masnah Busro, datang meredam emosi warga.
Warga kesal, setelah pukul 06.00 pagi, semestinya tak ada lagi truk muatan batubara lewat jalan Kumpeh. Hasil rapat Pemerintah Muarojambi, awal Juli lalu, angkutan batubara tak boleh melintas pukul 07.00-09.00 pagi dan 16.00-19.00 sore. Di Batanghari, angkutan batubara hanya boleh melintas setelah pukul 06.00 sore.
Banyak supir batubara merasa keberatan dengan aturan ini. “Kita ini juga butuh makan,” kata Bambang, supir truk batubara saat saya temui di Telanai, Kota Jambi.
Sopir angkutan batubara merasa keberatan dengan pembatasan waktu oleh pemerintah. Larangan melintas setelah pukul 06.00 sore di Batanghari dan 06.00 pagi di Kumpeh, membuat para supir harus berburu waktu untuk kejar setoran.
“Sore keluar dari Batanghari, sampai Jalan Baru [Muarojambi] antre soalnya cuma satu jalur, buka tutup. Sampai Kumpeh itu jam 06.00 [pagi] lewat kita sudah disetop gak boleh lewat. Susah, kadang sehari kito gak dapat duit. Kito jugo butuh buat makan.”
Untuk muatan 10 ton, katanya, bisa dapat uang transpor Rp900.000-Rp1 jutaan tergantung aturan perusahaan. Uang itu termasuk jatah solar, makan selama perjalanan, upah bongkar di pelabuhan dan pemilik truk.
Kalau beruntung, Bambang bisa dapat Rp200.000 sekali jalan. “Apesnya kalau ban pecah, gardan patah, truk guling itu gak dapet apa-apa, malah tekor.”
“Kalau kito berduo samo kenek, dibagi lagi hasilnya. Maka, satu trip itu gak cukup kalau berduo,” kata Bambang.
Banyak supir akhirnya mengangkut batubara kelewat batas untuk dapat setoran, bahkan hampir dua kali lipat. Mereka juga berburu waktu pengangkutan kedua. Kondisi ini, justru menjadi awal petaka, banyak kecelakaan mulai dari sini.
Sepanjang 2017, Jalan Lintas Muara Bulian-Kota Jambi, paling banyak makan korban. Pemerintah pernah membuat jalur alternatif melewati Jalan Sri Dadi–Penerokan-Tempino-Talang Duku. Jalur ini lebih panjang. “Tapi orang kampung itu juga nolak truk batubara lewat, katanya jalan jadi rusak,” kata Bambang.
Truk batubara mengalami patah as diduga akibat kelebihan muatan. Banyak truk mengangkut batubara melebihi standar yang ditentutkan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia |
Revisi aturan
Dinas Perhubungan Jambi, mengusulkan revisi Perda No.13 Tahun 2013. Wing Gunariadi, Kabid Perhubungan Darat, Dinas Perhubungan Jambi menyebut, sejak tanggung jawab jembatan timbang di Sarolangun dan Batanghari diambil alih Kementerian Perhubungan pada 2016, isi Perda No.13 tak lagi relevan. Banyak kewenangan Dishub Jambi terpangkas.
Saat ini, mereka menyusun kajian akademik terkait perubahan Perda No.13. Wing bilang, lebih dari separuh isi perda berubah. “Bukan revisi lagi tapi membuat perda baru, karena yang kita revisi lebih 50%.”
Ketika perda baru berlaku, pengawasan angkutan tambang batubara akan mulai dari mulut tambang. Dinas akan memasang stiker yang menunjukkan nama perusahaan pemilik batubara pada setiap truk batubara.
“Kalau dulu bentuk penindakan adalah tilang, kita evaluasi bentuk tilang tidak bisa menyelesaikan permasalahan. Ke depan, penindakan administrasi, yang ditindak perusahaan, apabila dia [supir] melanggar jam operasional. Perusahaan yang kena sanksi.”
Revisi perda ini, katanya, mereka targetkan masuk pembahasan dewan pada 2020. Pada 2021, bisa mulai jalan. Konsekuensi terberat, katanya, pencabutan izin usaha pertambangan.
Kemungkinan lewat jalur sungai? Menurut Wing, pengangkutan batubara melewati jalur sungai justru lebih rumit dan butuh kajian khusus. Masalah sedimentasi, pencemaran, dan pasang surut air sungai harus dihitung.
Rencana pengangkutan tambang batubara lewat jalur sungai sebenarnya telah dirancang jauh sebelum Perda No.13 diteken Gubernur Jambi Hasan Basri Agus. Pada 2004, dermaga ponton dibangun di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Sarolangun.
Rencananya, dermaga ini untuk mengangkut batubara dari Sarolangun termasuk pengiriman batubara ke PTLU Semaran. Dermaga tak selesai karena korupsi yang menyeret Bupati Sarolangun, Madel.
Wing bilang, revisi Perda13 harus didorong untuk mengatur angkutan batubara sebelum tambah semrawut.
Dia memprediksi, angkutan batubara meningkat seiring kenaikan harga batubara. Data Dinas ESDM Jambi, harga batubara pada Oktober 2019 pada kisaran US$21,19 perton, naik US$1,17 dari bulan sebelumnya.
“Kalau kita tidak dorong sistem ini, kapan lagi? Kita harus tegas juga dengan perusahaan. Selama ini, yang kita salahin transportir [supir], tapi perusahaan kan disuruh bangun jalan lalai aja, nunggak-nunggak, kapan bangunnya? Kapan programnya? Kapan progresnya? Nggak jelas.”
Sekda Jambi, M Dianto jelas bilang Pemerintah Jambi, tak punya rencana membangun jalan khusus batubara. Dia berdalih tambang batubara tak menyumbang pendapatan untuk Jambi.
“Mana adolah pemerintah nak bangun jalan khusus batubara sementara pendapatan ndak ado.”
Menurut Dianto, sudah ada investor berniat membangun jalan khusus batubara, karena pemerintah tak punya anggaran.
Benarkah Pemerintah Jambi, tak dapat bagian dari tambang batubara? Badan Keuangan Daerah Jambi mencatat, pada 2017 Pemerintah Jambi mendapat Rp21 miliar dari dana bagi hasil tambang batubara. Pada 2018, naik jadi Rp29 miliar, dan 2019 meningkat Rp38,6 miliar. Pada 2020, diperkirakan dana bagi hasil minimal Rp23 miliar. Pmerintah kabupaten mendapatkan bagian dua kali lebih besar dari provinsi.
Dana bagi hasil masih kecil kalau dibandingkan angka yang disebut Imron Rosyadi, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Jambi, untuk membangun jalan khusus batubara.
Imron mengaku ditemui Jabar, perwakilan pengusaha yang tertarik investasi jalan tambang batubara. Jalan akan dibangun sepanjang 140 kilometer dan lebar 30 meter mulai dari Pauh, Sarolangun, melewati Batanghari hingga Dusun Mudo, Talang Duku, Muarojambi. Nilai awal pembangunan ini sekitar Rp2,1 triliun.
“Sekarang lagi bergerak, tapi izin resmi ke kita belum ada, kajian lingkungan belum sama sekali. Wacana untuk membangun jalan itu sudah disampaikan ke kita.”
Kabar yang diterima Imron, hingga Agustus lalu, proses pembebasan lahan sudah 65%. Dia tak tahu di mana persis lahan yang sudah dibebaskan sejak 2018.
Rencananya, jalan sepanjang 140 kilometer itu tak hanya untuk angkutan batubara juga angkutan berat lain. Sistemnya, seperti jalan tol yang dikelola swasta. Jalan ini akan jadi solusi mengurangi kerusakan jalan pemerintah dan kecelakaan tinggi karena angkutan batubara.
Imron tak tahu apa nama perusahaan yang bakal investasi Rp2,1 triliun itu. “Nama perusahaan belum ada,” katanya.
Saya mencoba menghubungi Jabar untuk memastikan kebenaran yang dikatan Imron. Jabar tak merespon, pesan singkat dan telepon saya tak dijawab.
Ester Susan menunjukkan foto Jonatan Sitompul putranya yang kala itu berumur 7 tahun tewas setelah ditabrak truk pengangkut batubara. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia |
Selain Jabar, ada konsorsium pengusaha tambang batubara yang juga berniat patungan membangun jalan. Kabarnya, ivestasi mencapai Rp1 triliun lebih.
Muktamar Hamdi, Biro Ekonomi dan Sumber Daya Alam Jambi, mengatakan, empat bulan lalu baru saja mengirimkan surat pada konsorsium, menanyakan perkembangan rencana jalan tambang batubara. Tak ada balasan.
Rencana jalan tambang tampaknya sebatas omongan. Rusdiansyah, Direktur Walhi Jambi, menyebut, pemerintah sembarangan mengeluarkan Perda No.13 tahun 2012, tanpa ada perhitungan matang.
“Harusnya, sudah dihitung dulu sebelum perda itu keluar, berapa biaya bangun jalan khusus itu, siapa yang akan bangun, anggaran dari mana, dampaknya bagaimana. Itu harusnya sudah dipikirkan.”
Lewat pesan WhatsApp Edi Purwanto, Ketua DPRD Jambi bilang, masalah batubara jadi agenda prioritas dewan. “Kita akan evaluasi Perda No.13 Tahun 2012, sampai di mana dan apa kendalanya,” katanya. “Semua stakeholder kita ajak diskusi dan mencari jalan keluar terkait persoalan itu.”
Rudi mengatakan, investasi tambang batubara justru mendatangkan petaka di Jambi. Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana, puluhan orang mati kecelakaan. “Dana bagi hasil itu kecil sekali nilainya kalau dibandingkan kerusakan lingkungan dan nyawa yang hilang.”
Pada 2016, seorang anak di Kabupaten Bungo, tewas tenggelam dalam kolam tambang batubara. Banyak kolam tambang menganga.
Rudi bilang, apa yang terjadi sekarang dampak obral izin pemerintah kabupaten.
“Sekarang setelah [kewenangan] beralih ke provinsi, pemerintah kabupaten seperti cuci tangan.”
Dia mendesak Pemerintah Jambi, mengevaluasi semua izin tambang yang ada di Jambi dan melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas tambang. “Kalau ada yang bermasalah beri sanksi atau cabut izinnya.”
Keterangan foto utama: Truk pengangkut batubara mengalami kecelakaan di Jalan Lintas Sumatera, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia
Kementerian Perhubungan memasang imbauan agar angkutan batubara tak melebihi kapasitas yang telah ditentukan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia |