I. PENDAHULUAN
Lepas dari perdebatan tentang fungsi Taman Nasional Bukit Dua Belas dan fungsi manusia didalam mengelola sumber daya alam, peristiwa yang terjadi akhir-akhir membuktikan bahwa sudah saatnya fungsi Taman Nasional Bukit Dua Belas dan keberadaan Orang Rimba harus diletakkan dalam konteks yang seharusnya.
Bahwa terhadap keberadaan orang rimba dalam komunitas di daerah sekitarTaman Nasional Bukit Tiga Belas merupakan dampak dari kebijakan Rencana Perluasan Pengelolaan Taman Nasional Tiga Belas (RPTNBP). Sebagai kebijakan dalam perluasan Taman Nasional, hakekat pengakuan keberadaan Orang Rimbatidak diakui oleh negara. Orang Rimba yang dijadikan obyek dari fungsi Taman Nasional tidak dapat diterima dan menjadi bagian dari hidup dari Hutan.
Posisi Orang Rimba didalam kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hutan. Hutan sebagai hidup dan kehidupan Orang Rimba tidak dapat ditafsirkan semata-mata dari sudut pandang ekonomi semata-mata. Tapi juga harus dilihat dari sudut pandang sosiologis dan filosofis. Dari sudut pandang sosiologis, fungsi hutan dengan orang rimba adalah interaksi sosial yang justru menunjang dan menjaga hutan. Interaksi ini telah terbukti ratusan tahun mampu menjaga hutan dengan daya dukung lingkungannya. Dari sudut pandang filosofis, dari alamlah manusia belajar didalam mengelola sumber daya alam. Tentu saja makna filosofis juga ditafsirkan dari makna sakral didalam melihat hutan sebagai penjaga alam yang baik.
Berangkat dari sudut pandang itu, konteks program Rencana Perluasan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas harus merujuk kepada keberadaan Orang Rimba. Konsepsi ini walaupun didasarkan kepada ketentuna hukum normatif yang mengatur tentang kelola Taman Nasional baik diatur didalam UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam maupun penetapan kawasan Taman Nasional oleh negara dengan berbagai peraturan negara seperti Keputusan Presiden maupun penetapan kawasan oleh Menteri Kehutanan.
Mengaburkan apalagi menghilangkan keberadaan Orang Rimba membuktikan bahwa pandangan sempit didalam melihat keberadaan Orang Rimba hanya meletakkan konteks Orang Rimba yang tidak berhak didalam mengelola Hutan. Mengusir dan mengeluarkan keberadaan Orang Rimba dari kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas hanyalah cermin dari sikap pongah didalam melihat keberadaan Orang Rimba. Dogma normatif sebagaimana diatur didalam UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam tidak tepat yang kemudian dijadikan dasar kaku didalam melihat keberadaan Orang Rimba. Cara-cara represif dan cenderung melihat persoalan secara letterlijk tidak mampu menyelesaikan akar persoalan. Justru Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan alas dasar seluruh persoalan konflik yang terjadi antara keberadaan orang Rimba dengan fungsi Taman Nasional itu sendiri.
Belum selesai persoalan tentang program Rencana Perluasan Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan keberadaan Orang Rimba, persoalan antara Orang Rimba dengan masyarakat disekitar Taman Nasional merebak. Persoalan ini didasarkan kepada kepentingan sempit didalam melihat fungsi hutan dari sudut pandang ekonomi an sich. Konflik yang terjadi antara masyarakat di sekitar Taman Nasional dengan keberadaan Orang Rimba justru selain dengan persoalan Fungsi Taman Nasional dan pembangunan perkebunan besar Kelapa Sawit juga merupakan akibat konflik didalam menata fungsi Taman Nasional. Persoalan yang muncul didasarkan kepada konflik yang sengaja tidak diselesaikan oleh aparatur Pemerintah. Konflik laten ini kemudian menyebar dan menimbulkan konflik horizontal antara keberadaan Orang Rimba dengan masyarakat di sekitar hutan. Konflik ini kemudian memuncak dan menimbulkan berbagai peristiwa yang terjadi yang sudah dapat diprediksi sebelumnya.
Peristiwa yang terjadi baik antara keberadaan Orang Rimba dengan masyarakat sekitar hutan, keberadaan Orang Rimba dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, keberadaan Orang Rimba dengan berbagai lapisan masyarakat membuktikan bahwa sudah saatnya upaya penyelesaian didalam menata fungsi Taman Nasional. Tidak seharusnya melihat persoalan keberadaan orang Rimba dari kacamata hukum positif dan hukum nasional semata, tapi juga harus mengkaji dari berbagai sudut pandang dan tentu saja memberikan ruang kepada semua pihak untuk dapat menyelesaikan.
Dari titik tolak inilah, Walhi Jambi beserta jaringan baik internasional, nasional maupun lokal memberikan perhatikan yang serius terhadap keberadaan Orang Rimba. Perhatian ini didasarkan kepada perlindungan terhadap masyarakat yang termajinalkan oleh sistem politik, sistem ekonomi, penghormatan terhadap kesetaraan manusia, penghormatan dan perlindungan masyarakat dari pelanggaran HAM dan berbagai sikap yang melandasi nilai-nilai Walhi untuk mengambil peran yang akan dilakukan. Tentu saja laporan ini adalah bentuk tanggungjawab Walhi Jambi didalam mewujudkan sikap Walhi Jambi itu sendiri didalam melihat persoalan itu.
II. PERISTIWA YANG TERJADI
Dari berbagai sumber dan hasil investigasi terhadap peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, maka dapat diidentifikasi peristiwa penting yang menjadi sorotan. :
1. Tentang Penembakan
2. Tentang Penyerbuan
3. Tentang Pengusiran
4. Tentang Penganiayaan
5. Tentang Perbuatan “menyuruh onani”
6. Tentang Pembakaran Sepeda motor
7. Tentang Pembiaran oleh Negara
Peristiwa penting ini sengaja disampaikan untuk dapat membuktikan argumentasi yang telah disampaikan. Dari peristiwa penting itu maka kemudian diidentifikasikan untuk melihat bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Hasil inilah kemudian dijadikan dasar Walhi Jambi bersikap dalam melihat persoalan ini secara obyektif dengan memberikan perlindungan terhadap keberadaan Orang Rimba didalam menata dan mengelola Hutan dalam Taman Nasional Bukit Dua Belas.
1) Tentang Penembakan
Tanggal 17 September 2007 , Brimob telah melakukan penembakan sebanyak 8 kali terhadap anggota masyarakat yang sedang mengumpulkan sisa berondongan kelapa sawit di Inti I . Terlepas terhadap fakta yang terjadi, peristiwa ini tidak perlu terjadi dengan dasar sebagai berikut :
a. Bahwa perbuatan melakukan penembakan tidak perlu karena tahap untuk melakukan ketertiban didalam menyelesaikan masalah tidak harus dengan menggunakan senjata. Senjata digunakan apabila adanya upaya yang mengancam terhadap hukum dan ketertiban. Senjata digunakan apabila adanya upaya membahayakan terhadap keselamatan jiwa dan upaya represif agar tidak terjadinya kerusakan atau potensi kerusuhan massa lebih besar. Dalam kaitan ini, maka terhadap peristiwa penembakan, akan memberikan pendidikan yang buruk kepada masyarakata. Bahwa didalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum, pendekatan kekerasan haruslah ditinggalkan. Cara-cara ini selain melambangkan sikap masyarakat yang cenderung melakukan kekerasan juga melambangkan pola pikir yang ingin menyelesaikan masalah tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya.
b. Bahwa cara-cara dan upaya menyelesaikan dengan cara-cara kekerasan justru kontraproduktif dengan semangat reformasi yang berupaya menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang beradab, toleran dan menerima perbedaan pendapat didalam merumuskan persoalan;
c. cara-cara dan upaya didalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang instant selain tidak menyelesaikan masalah justru akan menimbulkan masalah di kemudian hari;
d. Terciptanya generasi dendam terhadap sikap pongah dari aparatur penegak hukum dan menciptakan kultur kekerasan didalam setiap bentuk menyelesaikan konflik.
Terhadap Peristiwa tersebut maka dapat disampaikan, bahwa harus dibentuk tim yang bertujuan untuk melihat dan mendapatkan laporan yang utuh untuk menjawab pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi. Sekaligus menindak terhadap oknum yang masih menggunakan cara-cara militerisme didalam berhadapan dengan rakyat.
2) Tentang Penyerbuan
Pada tanggal 13 Desember 2007, warga dari Trans dan Dusun Melayu telah melakukan penyerbuan terhadap rombong Depati Nggerak (Tumenggung Din) dengan berbagai senjata seperti dodos dan parang. Didalam peristiwa ini maka perbuatan selain telah melanggar pasal 170, 187 dan pasal 406 KUHP, juga telah melanggar UU No. 12 Tahun 1951 dimana pelaku dapat dijerat dengan hukuman 15 tahun penjara. Selain itu juga perbuatan ini harus ditindak tegas dan pembiaran terhadap peristiwa ini akan menimbulkan rasa ketakutan dan tentu saja melanggar terhadap hak asasi yang fundamental sebagaimana diatur UU No. 39 Tahun 1999.
Maka terhadap peristiwa ini selain membuktikan siapa penggerak, siapa pelaku dan pihak-pihak yang mendukung terjadinya peristiwa ini dan pihak yang tidak melakukan perlindungan terhadap masyarakat dan pihak yang telah melakukan perbuatan membiarkan harus diusut tuntas. Dan tentu saja peristiwa ini harus diberi perhatian serius karena berpotensi akan menimbulkan persoalan SARA.
3) Tentang Pengusiran
Tanggal 21 Desember 2007, masyarakat Transmigrasi beserta orang-orang PT. SAL , mendatangi lokasi kebun kelapa sawit yang sedang digunakan oleh anggota masyarakat Orang Rimba di wilayah singkut untuk bermalam.
Orang Rimba kemudian diusir dan dianiaya. Selain pembakaran terhadap 6 (enam) unit sepeda motor, pembakaran kain , masyarakat transmigrasi beserta orang-orang PT. SAL melakukan pengusiran.
Peristiwa pengusiran yang dilakukan oleh masyarakat Transmigrasi dan PT. SAL adalah peristiwa yang meremehkan harkat dan martabat Orang Rimba sebagai manusia. Padahal areal yang merupakan lahan diklaim oleh masyarakat Transmigrasi merupakn bagian dari Taman Nasional Bukit Dua Belas. Meremehkan dan merendahkan harkat dan martabat Orang Rimba sebagai manusia selain merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, diskriminasi terhadap rasial, upaya itu juga dapat dikategorikan pelanggaran terhadap HAM.
Didalam hukum pidana, perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan “tidak menyenangkan” sebagaimana diatur didalam pasal 335 KUHP.
4) Tentang Penganiayaan
Bahwa pada tanggal 15 Desember 2007 , seorang pemuda bernama Nyawik dari rombong Air Panas, tertangkap basah oleh security PT. JAW dan PT. SAL.
Bahwa peristiwa itu kemudian, pihak security tidak menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib namun melakukan penganiayaan terhadap Nyawik.
Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh security PT. SAL dan PT. JAW dapat dikategorikan sebagai perbuatan penganiayaan sebagaimana diatur didalam KUHP. Perbuatan ini selain tidak mendidik dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dengan alasan apapun, perbuatan ini ternyata atas perintah General Affair bagian Keamanan PT. JAW dan Kanik PAM PT. EMAL. Maka selain para pelaku dapat dijerat dengan KUHP, pihak perusahaan harus juga bertanggungjawab karena perbuatan itu mendapat perintah dari perusahaan.
Peristiwa penganiayaan membuktikan adanya upaya sistematis terhadap upaya “main hakim” sendiri dan tidak sesuai dengan dasar dan fungsi security perusahaan.
5) Tentang Perbuatan “menyuruh onani”
Pada saat setelah penganiayaan terhadap Nyawik, pihak security PT. SAL dan PT. EMAL juga memaksa Nyawik melakukan perbuatan “tidak senonoh”, dengan memaksa menyuruh Nyawik melakukan perbuatan perbuatan (maaf) Onani.
Bahwa pihak security yang telah menyuruh Nyawik untuk melakukan perbuatan melakukan onani didepan orang banyak dapat dijerat dengan pasal-pasal yang berkaitan kesusilaan sebagaimana diatur didalam pasal-pasal KUHP karena perbuatan tersebut telah memaksa orang lain melakukan perbuatan cabul juga cenderung sikap ini bukanlah merupakan sikap yang sering dilakukan dalam masyarakat biadab dan tidak menghormati harkat dan martabat manusia.
Bahwa pihak security PT. JAW dan PT. EMAL harus diperiksa dan diproses karena telah memaksa Nyawik melakukan perbuatan onani didepan orang banyak. Selain bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan dalam memaksa Nyawik melakukan perbuatan onani, pihak perusahaan harus bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut.
6) Tentang Pembakaran Sepeda motor
Bahwa perbuatan melakukan pembakaran kain dan sepeda motor milik Orang Rimba oleh masyarakat Trans dan orang-orang PT. SAL pada tanggal 21 Desember 2007 dapat diproses berdasarkan pasal 170, 187, pasal 406 KUHP, juga perbuatan ini dapat menimbulkan ketakutan ditengah masyarakat. Selain itu juga perbuatan yang dilakukan secara sistematis ini cenderung pembasmian terhadap manusia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan genosida ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur didalam UU No. 39 tahun 1999.
7) Tentang “Pembiaran” oleh Negara
Bahwa selain daripada perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku, Walhi Jambi juga mencatat “pembiaran” terjadinya pelanggaran HAM oleh aparatur keamanan baik “pembiaran” terjadinya “tindak Pidana” juga terjadinya “pembiaran pelanggaran HAM. Pembiaran oleh negara itu dapat dilihat :
1. Laporan yang disampaikan kepada Polsek Air Hitam atas perbuatan penganiayaan dan memaksa melakukan perbuatan onani terhadap Nyawik;
2. Perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat Transmigrasi dan orang-orang PT. SAL terhadap pengusiran dan penganiayaan terhadap orang Rimba pada tanggal 21 Desember 2007.
3. Perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat Transmigrasi dan orang-orang perusahan yang melakukan teror dan tidak menciptakan rasa aman.
4. Pembiaran terhadap masyarakat yang melakukan perbuatan membawa senjata seperti dodos dan parang dan menakut-nakuti Orang Rimba.
III. REKOMENDASI
Dari deskripsi yang telah disampaikan, maka Walhi Jambi menyampaikan :
1. Mendesak kepada apatur penegak hukum untuk bertindak melindungi masyarakat Orang Rimba dari anarkis segelintir orang yang melakukan perbuatan dengan alasan apapun.
2. Mendesak Kepolisian untuk dapat melakukan proses hukum dan membuktikan telah terjadinya tindak pidana baik pengusiran, penganiayaan, perbuatan tidak senonoh,
3. Membentuk Tim untuk mengusut peristiwa penembakan;
4. Segera menyelesaikan persoalan dan pengelolaan Taman Nasional;
5. Melakukan penghormatan dan perlindungan HAM terhadap keberadaan Orang Rimba;
IV. PENUTUP
Dari paparan yang telah disampaikan, maka Walhi Jambi meminta kepada seluruh para pihak agar memberikan dukungan kepada keberadaan Orang Rimba dan meletakkan konteks persoalan sebenarnya.