Lima terdakwa pembunuhan aktivis Serikat Tani di Kabupaten Tebo, Jambi, Indra Pelani (21), divonis hukuman 8 tahun hingga 14 tahun penjara. Jaksa penuntut umum menyatakan banding karena vonis dinilai mereduksi fakta pembunuhan berencana menjadi pembunuhan biasa.
“Kami nyatakan banding. Putusan hakim tidak sesuai dengan tuntutan,” ujar Budi Herman, ketua tim jaksa penuntut umum, di Jambi, Senin (12/10).
Sidang putusan kasus pengeroyokan dan pembunuhan berencana terhadap Indra berlangsung 6 Oktober di Pengadilan Negeri Muara Bulian. Hakim yang diketuai Achmad Satibi memvonis para terdakwa, yaitu AS, DA, dan AY, dengan hukuman masing-masing 14 tahun penjara dari tuntutan jaksa 18 tahun, sedangkan terdakwa MR 10 tahun penjara dan Zl 8 tahun penjara dari tuntutan 15 tahun penjara.
Para pelaku dinilai terbukti membunuh Indra menjelang kegiatan panen raya padi pada 27 Februari. Indra meninggal setelah mengalami penyiksaan dari para pelaku yang merupakan petugas unit reaksi cepat PT Manggala Cipta Persada, rekanan PT Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinar Mas Forestry.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Musri Nauli, yang mendampingi petani dan keluarga korban, menilai hakim mengesampingkan fakta. Padahal, jika dilihat dari motifnya saja, yaitu membunuh dengan cara mengikat korban dengan satu tali mulai dari kaki, tangan, hingga leher sehingga korban tercekik, itu sangat kuat sebagai pembunuhan berencana.
Mirip Lumajang
Musri mengemukakan, kasus pembunuhan yang terjadi di Tebo sangat mirip dengan kasus di Lumajang, Jawa Timur, yaitu penganiayaan beramai-ramai dan sadis hingga korban meninggal. Pihaknya khawatir, ketidakmampuan persidangan mengungkap kasus itu secara gamblang akan menjadi preseden buruk ke depan, misalnya dengan berulangnya kasus serupa.
Pihaknya pun menyesalkan, hakim mengesampingkan fakta konflik lahan antara masyarakat sekitar dan perusahaan. Perusahaan bahkan diketahui berkonflik dengan 120 desa.
Taufiqurrohman dari Humas PT WKS mengatakan, kejadian penganiayaan terhadap Indra yang dilakukan petugas unit reaksi cepat itu di luar standar operasional yang dituntut perusahaannya kepada pihak rekanan. Terkait kejadian itu, pihaknya langsung memutus kontrak kerja dengan perusahaan rekanan. Semua petugas keamanan di Distrik VIII diganti. Pemutusan kontrak kerja juga dilakukan bertahap di seluruh distrik. (ITA)
SUMBER : KOMPAS.COM