|
Aksi Hari Tani 25/9/2017 |
Pengelolaan lahan pertanian secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, baik di provinsi jambi maupun di wilayah – wilayah lain yag ada di Indonesia, pola – pola tradisional yang ada dalam masyarakat dalam membuka lahan pertanian yang ada tidak terlepas dari pengaturan yang ada didalam masyrakat itu sendiri, tata cara pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan yang ada di satu wilayah berubah sejak masuknya industry skala besar, Perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri dan pertambangan. Hal ini tentuya sangat berdampak dan berpengaruh pada kebiasaan dan tata cara yang ada dalam masyarakat, kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan pertanian yang ada juga dipengaruhi oleh modal.
Perusahaan yang mengelola sumber daya alam dan hutan yang ada tidak pernah memperhatikan bahkan mentaati aturan atau tata cara pengelolaan sumber daya alam yang telah ada di masyarakat, dengan tameng perizinan dari pemerintah penguasaan seluruh sumber daya alam yang ada di suatu wilayah Desa tetap dilakukan.
Tidak ada kawasan yang luput untuk diolah ketika mendapatkan perizinan , inilah yang terjadi pada fase awal maraknya perizinan pengelolaan sumber daya alam yang ada, “tidak ada rimbo yang tidak bisa di tutuh, tidak ada rantau yang tidak bisa di tempuh” ketika teknologi dan modal yang disertai lahirnya kebijakan yang salah arah dan tidak mengakomodir apa yang menjadi kebiasaan masyarakat dalam mengelola lahan secara tradisional.
Konflik sosial yang terjadi adalah akibat dari akumulasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang salah dan muaranya adalah konflik sumber daya alam yang terjadi antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Kunci dari semua permasalahan ini adalah perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak pernah memperhatikan dann mengakomodir serta mendengar atau melihat langsung apa yang terjadi sebenarnya dibawah, pemerintah dan perusahaan seharusnya menyampaikan secara benar ke bawah terkait rencana – rencana pengelolaan sumber daya alam yang ada di Desa, agar masyarakat dapat menentukan pilihan terhadap bagaimana sumber daya alam yang ada di wialyah mereka akan dikelola.
Masuknya industry skala besar, Perkebunan Kelapa Sawit, Hutan Tanaman Industri dan pertambangan juga merupakan awal perubahan pola pengelolaan sumber daya alam yang ada, pembukaan lahan dengan cara – cara tradisional dinilai tidak lagi efektif, bahkan masyarakat cenderung disalahkan ketika mengelola lahan dengan cara bakar atau juga dikenal dengan istilah “Merun “ di Jambi, padahal jika kita runut kebakaran hutan dan lahan yang terjadi bermula sejak maraknya industry pengelolaan sumber daya alam dengan pembukaan kawasan hutan dengan cara membakar, akan tetapi lagi – lagi rakyatlah yang dituding sebagai penyebab dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi, sedangkan perusahaan yang lahan dan konsesi nya terbakar tidak ditindak, karena investasi yang ditanam oleh mereka sudah sangat besar dan pemerintah juga takut untuk menindak Karena persoalan hukum yang akan dihadapi ketika perusahaan dengan segala caranya akan berusaha lolos dari proses hukum yang akan dijalani.
Banyak dari petani yang mengeluhkan kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah, kalangan aktivis dan NGO pun banyak yang mengkritisi terlebih lagi dengan kebijakan yang tidak pro rakyat, dan tidak mengakomodir apa yang telah menjadi kebiasaan dalam pola – pola pertanian yang sudah ada dan tidak memerlukan modal yang besar dalam pengelolaan lahan pertanian mereka. (Abdullah)