Musri Nauli *
Beberapa waktu yang lalu, DPC PERADI Jambi menerima pengaduan dari Walhi Jambi dan KKI Warsi yang tergabung didalam #jambiberasap# tentang kebakaran hutan dan lahan yang massif terjadi 3 bulan terakhir. DPC PERADI Jambi kemudian menentukan sikap untuk menerima pengaduan dari kelompok masyarakat (claas action) untuk menggugat perusahaan yang dianggap bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan dan lahan (kahutla).
Diskusi Terkait Gugatan yang akan dilakukan di Sekretariat DPC PERADI |
Tanpa memasuki dalil-dalil gugatan yang hendak disampaikan, yang menjadi perhatian dari masyarakat Jambi adalah biaya kerugian dan biaya pemulihan yang mencapai angka puluhan trilyun. Sebagian pihak menerima biaya kerugian dan biaya pemulihan. Namun sebagian apatis sehingga menimbulkan keraguan terhadap besarnya angka yang timbul akibat kebakaran tahun 2015.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan kerugian ekonomi dari kebakaran di Riau (Feb-Maret 2014) mencapai 935,1 juta dollar. Kerugian ini mencakup Kerusakan dimana dibutuhkan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan kembali dan rehabilitasi dan kerugian yang ditandai dengan penurunan kegiatan ekonomi dan pendapatan yang timbul pada bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya.
Pengaturan tentang biaya kerugian dan biaya pemulihan telah diatur didalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun 2011 (Permen LH). Peraturan ini kemudian menjadi dasar Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh didalam putusannya Nomor 12 Tahun 2012. Putusan ini kemudian diperkuat hingga di tingkat kasasi sehingga layak menjadi bahan pertimbangan hakim terhadap perkara berkaitan kebakaran (yurisprudensi).
Didalam Permen LH disebutkan kerugian ekologis, Biaya kerusakan ekonomi terdiri dari Hilangnya umur pakai Akibat kegiatan pembakaran, Kerusakan tidak ternilai (Inmaterial) dan biaya pemulihan.
Kerugian ekologis mencakup penyimpanan air, pengaturan tata air, biaya pengendalian erosi, biaya pembentukan tanah, Biaya pendaur ulang unsur hara yang hilang akibat pembakaran, Biaya pendaur ulang unsur hara, biaya pemulihan keanekaragaman hayati yang hilang, Biaya pemulihan akibat hilangnya sumber daya genetik, biaya pelepasan karbon dan biaya perosot karbon.
Sedangkan biaya pemulihan terdiri dari Biaya pembelian kompos, Biaya angkut ,Biaya penyebaran kompos di areal yang terbakar, Biaya pemulihan untuk mengaktifan fungsi ekologis yang hilang seperti Pendaur ulang unsur hara, pengurai limbah, Keanekaragaman hayati, Sumber daya genetik, Pelepasan Karbon dan Perosot Karbon.
Dengan menentukan variabel biaya kerugian dan biaya pemulihan, maka kita bisa menentukan besaran angka untuk menentukan besaran ganti rugi yang menjadi tanggungjawab kebakaran.
Biaya menyimpan air diperlukan untuk membangun reservoir dengan ukuran 20 m x panjang 25 meter x tinggi 1,5 m. Biaya pembuatan reservoir adalah biaya untuk menyimpan air yang dikalkulasikan per m2. Satu hektar mampu menyimpan air sebanyak 650 m3/ha. Sehingga untuk satu hektar membutuhkan biaya yang cukup besar.. Biaya pembuatan reservoir kemudian ditambah dengan biaya untuk pemeliharaan Sehingga satu hektar diperlukan biaya perawatan hingga mencapai milyaran rupiah/hektar.
Selanjutnya biaya-biaya yang seperti Biaya pengaturan tata air. Biaya pengendalian erosi, Biaya pembentukan tanah, Biaya pendaur ulang unsur hara yang hilang akibat pembakaran, Biaya pengurai limbah yang hilang, biaya keanekaragaman hayati yang hilang, Biaya pemulihan akibat hilangnya sumber daya genetik, biaya pelepasan karbon, biaya perosot karbon sehingga biaya yang diperlukan untuk memulihkannya dapat dikalkulasikan dengan menghitung biaya komponen yang telah disebutkan dikalikan dengan luasan hektar yang terbakar.
Biaya kerusakan ekonomi terdiri dari Biaya hilangnya umur pakai akibat kebakaran yaitu Biaya penanaman, Biaya pemeliharaan dari tahun pertama hingga tahun ketujuh. Sedangkan terhadap biaya kerusakan Kerusakan tidak ternilai (Inmaterial) adalah kerusakan yang terjadi namun sangat sulit dikuantifikasikan, sehingga dinyatakan dalam bentuk kualitatif saja.
Biaya pemulihan terdiri dari Biaya pembelian kompos, Biaya angkut, Biaya penyebaran kompos, Biaya pemulihan untuk mengaktifan fungsi ekologis yang hilang, Keanekaragaman hayati. Dengan demikian maka pemulihan dapat dihitung dengan memperhatikan komponen hingga menghitung biaya luasan lahan yang terbakar.
Dengan menghitung masing-masing komponen biaya yang diperlukan untuk satu hektar lahan yang terbakar, maka kita bisa menghitung tanggungjawab perusahaan terhadap biaya seperti kerugian ekologis, Biaya kerusakan ekonomi terdiri dari Hilangnya umur pakai Akibat kegiatan pembakaran, Kerusakan tidak ternilai (Inmaterial) dan biaya pemulihan. Sehingga kita bisa menghitung areal yang terbakar dengan mengkalkulasikan biaya yang harus dibayar oleh penanggungjawab izin
Sekedar gambaran, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada September 2015 telah menyampaikan laporan terhadap kebakaran maka pihak yang mendapatkan keuntungan yaitu pengelola lahan (50%), Pengembang lahan (32%), Pengklaim lahan (1,2%), Tenaga pemasaran (1,8%), Penebang (2,5%) dan pembakar (0,5%).
Didalam putusan PT. Kalista Alam akibat kebakaran seluas 1000 ha, Pengadilan Negeri Meulaboh kemudian menjatuhkan putusan dengan total biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. Kalista Alam senilai 320 Milyar rupiah.
Dengan asumsi lahan yang terbakar mencapai 33 ribu hektar, maka biaya kerugian dan biaya pemulihan mencapai 10 trilyun lebih.
Sedangkan penghitungan yang disampaikan oleh peneliti pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis cukup mencengangkan. Dengan penghitungan terhadap 286 hektar yang terbakar tahun 2014, maka menimbulkan kerugian 44 trilyun (Republika, 11 Maret 2015).
Sehingga dengan kalkulasi 250 hektar dibutuhkan biaya kerugian dan biaya pemulihan mencapai 44 trilyun, maka terhadap lahan yang terbakar mencapai 33 ribu hektar, dibutuhkan 5,280 trilyun atau 5 bilyun. Atau kerugian kebakaran tahun 2015 mencapai 2 kali APBN Indonesia.
Angka ini tentu saja mengagetkan berbagai kalangan. Namun angka ini tidak mampu menggantikan kerusakan gambut akibat kebakaran. Gambut sebagai kawasan ekologi yang unik mempunyai kemampuan untuk menyerap emisi karbon tetapi akan melepas karbon yang sangat tinggi bila mengalami kerusakan, karena gambut itu sendiri merupakan karbon. Berbeda dengan hutan tanah mineral yang hanya melepas karbon dari tumbuhan yang mati.. Kebakaran kemudian menyebabkan fungsi gambut kemudian menjadi hilang sehingga gambut justru menjadi ladang yang merusak ekosistem.
Selain itu juga biaya yang dikeluarkan tidak mampu menggantikan derita rakyat yang berjumlah 3,1 juta penduduk Jambi, 70 ribu yang mengalami ISPA dan telah merenggut nyawa 4 orang.
Terhadap penghitungan kerugian dan biaya pemulihan selain telah diatur didalam Permen LH, dilakukan oleh ahli yang berkompeten di gambut hingga telah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung.
Sehingga tidak salah kemudian biaya kerugian dan biaya pemulihan yang menjadi tanggungjawab perusahaan yang terdapat kebakaran dapat mewakili keresahan yang diderita rakyat Jambi akibat kebakaran hingga harus menghirup asap berbulan-bulan.
* Direktur Walhi Jambi, Advokat
Sumber : Jambi Ekspress