Foto Bersama Peserta FGD |
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia pada 2015 lalu, yang mengakibatkan kabut asap tebal hampir di seluruh penjuru Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, sangat melukai hati banyak pihak, khususnya masyarakat di Provinsi Jambi. Tidak hanya folusi yang terganggu, kabut asap di Jambi juga mengakibatkan penerbangan terhenti, sekolah diliburkan, ekonomi terganggu, dan 6 (enam) anak kecil tewas meregang nyawa. Kejadian kebakaran 2015 ini mengulang kebakaran serupa yang terjadi pada tahun 2013. Akibatnya, dampak dari kebakaran tersebut tidak hanya dirasakan oleh rakyat Jambi khususnya dan Indonesia pada umumnya, tetapi juga dirasakan oleh Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Beberapa data yang berhasil dihimpun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi, dari 135 ribu hektar areal hutan dan lahan yang terbakar, sebagian besar berada di dalam kawasan izin perusahaan, dan sebagian besar juga areal yang terbakar adalah lahan gambut. Fakta ini membuktikan bahwa perusahaan gagal dalam menjaga areal izinnya dari kebakaran hutan dan lahan. Namun penegkan hukum terhadap perusahaan-perusahaan ini juga dinilai masih belum maksimal, bahkan penegak hukum seakan berbalik arah menangkap yang mana yang mudah ditangkap, sehingga sasaran empuk untuk melakukan penegasan terhadap penegakan hukum adalah rakyat kecil yang hanya membakar 1 dan 2 hektar untuk berladang.
Masyarakat yang tinggal dan hidup daerah gambut mempunyai pengetahuan tentang gambut, karena sudah beradaptasi secara turun-temurun dan berabad-abad lamanya. Namun pandangan masyarakat justru kerab diabaikan dan sepi dari wacana publik. Padahal masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar gambut mempunyai pengetahuan dan tradisi panjang di dalam mengelola lahan gambut.
Di Jambi, pemberian izin di kawasan gambut semakin masif sejak tahun 2006 dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Kegagalan negara dan industri dalam mengelola kawasan gambut, berhadapan dengan masyarakat yang terbukti arif dalam memandang dan mengatur lahan gambut. Pengetahuan, cara pandang, nilai, dan norma yang mengatur tentang gambut harus menjadi sumber utama pengetahuan di dalam mengatur gambut. Dengan menempatkan masyarakat sebagai sumber utama pengetahuan, maka nilai dan norma kemudian dijadikan dasar untuk pengusulan Rancangan Peraturab Daerah (Raperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi. Tema yang ditawarkan “Perlindungan Dan Pengaturan Gambut di Propinsi Jambi.
Berdasarkan hal tersebut, WALHI Jambi mengundang para ahli, pakar, CSO dan Stakeholder kunci yang ada di Provinsi Jambi, untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi muatan dan hal-hal penting di dalam menyusun Naskah Akademik dan Draft Raperda DPRD Provinsi Jambi. Untuk memulai putaran diskusi maka diadakan FGD Stakeholder Kunci, guna mengidetifikasi dan menyusun Naskah Akademik dan Draft Raperda Perilindungan dan Pengelolaan Gambut di Jambi.
Forum Group Discussion (FGD) tahap pertama ini juga dihadiri Eksekutif Nasional WALHI Zenzi, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi Rudiansyah, para Akademisi dari perguruan tinggi ternama di Jambi yaitu dari UIN STS Jambi, UNJA, dan UNBARI, serta Mahasiswa Pecinta Alam, para NGO, dan masyarakat yang tinggal di daerah gambut. FGD dilaksanakan di Hotel Aston, Kota Jambi, Selasa 27 Februari 2018 lalu.
Musri Nauli selaku Fasilitator dari kegiatan tersebut, memberikan kesempatan pertama kepada Rudiansyah selaku Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi, untuk memaparkan pandangan WALHI Jambi lahan gambut dan tata cara pengelolaannya, serta persoalan-persoalan yang terdapat di wilayah gambut di Provinsi Jambi. Rudiansyah mengatakan, peta kebakaran gambut tahun 2015, hampir 80 persen gambut yang terbakar berada di wilayah konsesi perusahaan.
Ada kecenderungan pihak penegakan hukum belum melakukan upaya yang tegas terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahn. Rudiansyah, yang biasa disapa Rudi mengatakan, upaya penegakan hukum harus menjadi prioritas dalam melakukan pencegahan Karhutla. Dikatakannya, di Provinsi Jambi sebaran industri di wilayah gambut 70 % dikuasai industri kelapa saeit sawit baik industri perkebunan maupun industri hilirnya (pabrik CPO), Hutan Tanaman Industri (HTI) ataupun sektor yang ada di Jambi sendiri.
“Jadi bagaimana proses perlindungan hak dan kelola masyarakat terhadap gambut mereka. Tapi di sisi lain ada ancamannya dan areal mereka juga terancam dari ancaman logis. Wajar gimana ada kebakaran di kebun masyarakat dan menghilangkan data resapan air,” kantanya.
Rudiansyah Direktur ED WALHI Jambi saat presentasi |
Kerusakan gambut di Provinsi Jambi, dari catatan WALHI Jambi juga sudah sangat memprihatinkan. Hal tersebut juga tertuang di dalam pemaparan Rudi pada FGD tersebut. Kerusakan itu yakni, menurunnya subsiden air di gambut akibat kanalisasi industri, kebakaran gambut di wilayah konsesi industry, dan punahnya ekosistem gambut. Dari 716, 838 hektar wilayah gambut di Jambi, 70 persen sudah dikanalisasi.
“Wilayah gambut menjadi wilayah harapan hidup. Kita melihat dari 133 desa ada 159.000 masyarakat yang tergantung hidupnya di wilayah gambut, dan kalau ada dampaknya langsung ke komoditas sendiri. Yang harus diselamatkan adalah masyrakatnya. Gambut sebagai pengendali perubahan iklim, gambut yang sudah dieksploitasi secara besar akan melepas karbon,” tegas Rudi.
Harapan dari pengelolaan gambut di Jambi adalah lahirnya kebijakan preventif. Yang mana kebijakan reventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya krusakan ekologis di wilayah gambut khususnya. Maka Ia melihat perlu untuk mendorong kebijakan daerah perihal pengelolaan dan perlindungan gambut, yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan berkelanjutan sistem ekologi. Selain membutuhkan kebijakan preventif, maka kebijakan refresif juga tidak bisa nomor duakan dalam hal ini. Menurut Rudi, kebijakan refresif juga diperlukan untuk memulihkan kerusakan-kerusakan yang sudah ada.
Jika Rudi tadi memaparkan situasi gambut dari sisi local khususnya di Provinsi Jambi, hal itu belum lengkap rasanya jika tidak diiringi dengan pemaparan situasi pandangan dan pengelolaan gambut secara nasional. Maka dalam hal ini Zenzi dari Eksekutif Nasional WALHI hadir dan berkesempatan untuk memaparkan bagaimana situasi nasional tentang pengelolaan gambut. Di awal pemaparannya Zenzi mengatakan, bahwa pandangan terhadap areal gambut, secara nasional lahan gambut termasuk di dalam kategori ekosistem unik, devenisi ini sudah tertuang ke dalam Undang-undang No 32 tahun 2009.
Zenzi memaparkan, konsentrasi WALHI dalam memandang tata cara mengelola gambut ada dua hal, yaitu adaptasi dan modifikasi. Dua hal ini memiliki dampak yang berbeda jika digunakan dalam metode mengelola lahan gambut. Adaptasi biasanya adalah cara-cara yang digunakan masyarakat sekitar areal gambut dan sudah menjadi pengetahuan secara turun-temurun, sementara modifikasi adalah cara-cara yang sering digunakan oleh perusahaan untuk mencari benefit (imbal jasa), sehingga ia cenderung melakukan perubahan terhadap alam agar cocok dengan komoditi yang di tanam.
“Karena curah hujan dan musim panas tidak akan menyesuaikan modifikasi yang kita pilih. Karena alam itu mengandung kepastian, dan pada kepastian itulah kita beradaptasi,” ujarnya.
Zenzi melanjutkan, bahwa pertanyaannya adalah berapa beban yang dikeluarkan akibat modifikasi ini. Kalau kita bandingkan benefit dari kebakaran kemarin (2015) dengan beban yang dikeluarkan Negara, itu tidak sepadan, artinya beban yang ditanggung Negara lebih berat. Dikatakannya, keberlangsung Jambi ini penting untuk dihitung sampai berapa tahun jika dilihat dari gambut, jika tidak begitu maka kita akan mewariskan hal yang sama kepada generasi selanjutnya.
Setelah pemaparan tersebut FGD tahap pertama ini dilanjutkan dengan pemaparan-pemaparan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, DPRD Provinsi Jambi, para akademisi, dan para NGO. Tentunya semua paparan terkait permasalahan yang ditemui dari berbagai pihak terkait areal gambut itu, bertujuan untuk berkontribusi di dalam menyusun Naskah Akademik Perda Provinsi Jambi tentang Pengelolaan Lahan Gambut nantinya.