Ketika Desa-desa di Jambi Ini Kedatangan Sawit, Hidup Warga Makin Sulit


  • Kala sawit datang, lama kelamaan, hidup warga berubah makin sulit. Lahan beralih, warga pun banyak jadi buruh lepas. Hutan, ladang, sawah, banyak hilang. Air danau dan rawa mengering. Ikan-ikan hilang berganti ribuan batang sawit tumbuh di rawa gambut yang beringsut memadat.
  • Pada 2002, PT Erasakti Wira Forestama datang ke Desa Rukam, setelah mengantongi izin lokasi dari Bupati Burhanudin Mahir untuk menggarap lebih dari 4.000 hektar lahan di Desa Rukam, Teluk Jambu, Dusun Mudo dan Sekumbung.
  • Konflik lahan warga dan perusahaan juga terjadi di Desa Sogo. Masalah muncul ketika PT Bukit Bintang Sawit, mulai membangun jalan menghubungkan lahan di Tanjung menuju Sponjen, melewati Sogo. Pemerintah Desa Tanjung mengklaim jalan yang dilewati BBS adalah wilayah adat memilih menjual ke perusahaan. BBS tak hanya membangun jalan, tetapi mulai melebarkan lahan ke perkebunan warga.
  • Walhi Jambi mendorong, pemerintah mengevaluasi izin perusahaan bermasalah dan mengkaji dampak lingkungan terutama perkebunan di lahan gambut.
Kehidupan di Desa Rukam, Kecamatan Taman Rajo, Muaro Jambi, Jambi, kian memburuk. Banjir makin parah, air bersih susah, kala kemarau kekeringan sampai ikan-ikan di rawa atau sungai jauh berkurang. M Syafei, tak tahan dan kembali bersuara setelah 12 tahun diam.
Tanah adat desa yang meyangga hidup ratusan jiwa sejak lama dijual ke PT. Erasakti Wira Forestama (EWF). Hutan, ladang, sawah, banyak hilang. Air danau dan rawa mengering. Ikan-ikan hilang berganti ribuan batang sawit tumbuh di rawa gambut yang beringsut memadat.
Setelah semua kekayaan hilang, kehidupan Warga Desa Rukam berubah total.
Pada 2002, EWF datang ke Desa Rukam, setelah mengantongi izin lokasi dari Bupati Burhanudin Mahir untuk menggarap lebih dari 4.000 hektar lahan di Desa Rukam, Teluk Jambu, Dusun Mudo dan Sekumbung.
Syafei kala itu Kepala Desa Rukam, menolak niat perusahaan membeli lahan adat desa yang dikelola kelompok tani. Dia justru mendapat tekanan dari warga yang menginginkan tanah adat dijual. Dia juga dapat ancaman preman bayaran.
“Saya diintimidasi masyarakat. Rumah saya didemo sampai dua kali,” katanya mengenang masa itu.
Dia lebih sepakat kalau lahan adat itu dibuat pola plasma, meski tak ada uang ganti rugi. Perusahaan menolak. Perusahaan memilih menawarkan uang ganti rugi jelang Lebaran Idul Fitri.
“Orang butuh modal buat lebaran, akhirnya milih jual.”
Tak butuh waktu lama, perusahaan menguasai 70% lahan adat Desa Rukam. Syafei berupaya menggugat perusahaan dengan dalih penyerobotan lahan. Perusahaan sepakat mengembalikan lahan dengan syarat Rp600 juta yang telah diterima warga kembali.
“Saya sepakat. Waktu itu ternyata ganti rugi sudah 80%. Warga banyak milih menjual, sayo tak biso ngapo-ngapoin lagi.”
Syafei bilang, warga hanya dapat ganti rugi Rp1 juta dari hasil jual lahan ke EWF. “Satu juta untuk tiga hektar.”
M Syafei, mantan Kades Rukam, tak tahan melihat kondisi desanya kini. Hidup makin sulit, lingkungan pun rusak. 
Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia
 Dampak lingkungan
Sekitar 2013, hampir 10 tahun perusahaan menguasai lahan-lahan di Desa Rukam. EWF membangun tanggul setinggi delapan meter dengan panjang 11 km mengelilingi perkebunan sawit. Tanggul dibangun untuk menghalau banjir yang datang setiap tahun. Perusahaan juga membangun tujuh titik pompa air untuk membuang luapan banjir. Dua dibangun mengapit Desa Rukam. Satu titik dengan 12 pompa dibangun dua km dari Desa Rukam. Delapan pompa dibangun sekitar satu km dari desa.
Dampaknya, banjir menggenangi Desa Rukam setiap tahun makin tinggi. “Ado hujan lebat dikit, banjir. Karena sudah ditanggul, resapan air juga dak ado lagi danau lah kering,” kata Bakri, Ketua BPD Rukam.
Desa Rukam, daerah gambut kedalaman dua sampai lima meter di pinggir Sungai Batanghari. Hutan adat Desa Rukam kaya rotan, damar dan kayu. Rawa gambut itu juga hasilkan ratusan ton ikan setiap tahun.
Sebelum perusahaan datang, mayoritas warga Rukam mencari ikan dan bertani. Sehari mereka bisa dapat ikan sampai puluhan kilogram dari danau, lopak (danau kecil), rawa dan sungai.
Hasil valuasi ekonomi Walhi Jambi, warga Desa Rukam bisa menghasilkan Rp26 miliar setiap tahun dari hasil menangkap ikan.
Banjir adalah anugerah bagi warga Rukam. Banjir datang antara November-Februari, hingga banyak ikan gabus, tembakang, lembat, bujuk, serandang yang terperangkap jaring warga. Sehari mereka bisa menghasilkan ratusan ribu dari jual ikan.
Antara April-Mei, saat banjir berangsur surut masa ikan mudik. Banyak ikan merah, lambak, jale, beterung terperangkap dalam danau, lobak dan rawa. Pukul 05,00 sore hingga 11,00 malam warga akan berburu botia, ikan hias endemik Jambi, yang bernilai ekspor.
“Sekarang dak ada lagi, karena ekosistem alam sudah berubah,” katanya, murung.
Tanggul dan perkebuan sawit EWF membuat warga banyak kehilangan sumber ekonomi. Syafei menghitung, lebih 10 jenis ikan kini sulit ditemukan di rawa gambut Rukam. “Pokoknya jenis ikan yang mahal itu hilang semua. Sekarang tinggal gabus, betok, sapil, sepat siam. Botia sudah dak ado lagi.”
“Kalau dulu enak. Orang cari (duit) tidak terpakso, orang bisa ambil potensi alam yang melimpah. Kalau musim panen ikan, sehari bisa dapat Rp200.000-Rp300.000. Apolagi kalau dapat botia, itu bisa jutaan,” kata pria 67 tahun itu.
Keadaan makin buruk saat warga harus kehilangan lahan pertanian dan musim tanam lebih singkat. Ketika April tiba, banyak tanaman padi gagal panen karena banjir merendam Desa Rukam, makin dalam, tertahan tanggul perusahaan. Sedang memasuki November, banyak sawah kering. Air di persawahan mengalir ke kanal-kanal sedalam delapan meter yang dibangun perusahaan.
“Kalau dulu masyarakat kebanjiran, perusahaan juga kebanjiran. Kalau sekarang masyarakat kebanjiran, perusahaan kering. Masyarakat minta tanggul dibuka, jadi kami tenggelam perusahaan juga tenggelam.”
Hasil analisis Walhi Jambi, Danau Belanti dan Danau Leban Condong, di kawasan EWF sudah hilang. Warga Rukam mencatat, ada 10 danau di Rukam, hilang dan berganti sawit.
Syafei menyebut, ada beberapa danau besar seperti, Danau Leban Condong, Belanti, Sarang Burung, Mentangur. Untuk Lopak (danau kecil), ada, Lopak Hijau, Bulat, Rumbai, Panjang, Senen, dan Betung.
M Syafei menunjukkan lahan pertanian warga Desa Rukam yang kerap terendam banjir setelah PT. EWF membangun tanggul. Foto: Yitno Supprapto/ Mongabay Indonesia
Sekarang, warga Rukam banyak bekerja sebagai buruh lepas di perusahaan. Hidup mereka bergantung EWF. Warga yang menjadi pegawai tetap, rata-rata bergaji Rp400.000-Rp500.000 seminggu. Mereka yang jadi buruh lepas dibayar Rp60.000-Rp80.000 sehari. Kalau hari hujan, warga banyak tak bisa kerja.
Banyak anak-anak dan perempuan paruh baya kerja jadi buruh lepas di perusahaan. “Kerja ya itu mupuk, nyemprot. Mereka dibayar per baris.”
Penyesalan datang setelah 17 tahun, sejak tanah adat Desa Rukan, dijual ke perusahaan. Warga yang dahulu mendesak Syafei menjual lahan adat, kini minta untuk dibela. Ekonomi mereka kini berantakan.
Masuk kubah gambut?
Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi mengatakan, pembangunan tanggul EWF melanggar PP 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dan izin lingkungan.
Dari analisis citra Walhi, wilayah EWF berada dalam satu kesatuan hidrologis gambut (KHG) Batanghari. Ada dua puncak kubah gambut sedalam tiga meter dekat Desa Rukam dan Desa Sakean, yang habis tergarap perusahaan.
Walhi mendorong, pemerintah mengkaji ulang izin perusahaan terutama aspek lingkungan, karena EWF berada dalam wilayah restorasi gambut.
“Pemerintah harus jeli dengan kajian itu.”
Mongabay datang ke kantor EWF di Jalan K. H. Wahid Hasyim Nomor 75. Alamat ini berbeda dengan yang tercantum di Google, yang menunjukkan Jalan MH. Thamrin No. 48b, Orang Kayo Hitam, Pasar Jambi.
Di Wahid Hasyim ini tampak ruko berpintu kaca gelap tanpa plang nama, sebaris dengan para pedagang pakaian. Herman yang mengaku staf EWF menolak diwawancara soal pembanguan tanggul.
Kan mereka (warga dan Walhi) kemarin sudah datang ke sana, lihat langsung sama orang lingkungan. Jadi, tanya saja sama orang lingkungan,” katanya, seraya meminta saya segera keluar kantor.
Apa yang jadi temuan Walhi di EWF telah dilaporkan ke BRG, Dinas Lingkungan Jambi dan Muarojambi.
Dwi Nanto dari Walhi Jambi bilang, DLH Muarojambi mengaku tak pernah mengeluarkan izin pembangunan tanggul untuk EWF.
Sogo, desa di pinggir Sungai Kumpeh, Muarojambi, Jambi, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia
Konflik dengan BBS
Kepahitan tak hanya dialami warga Desa Rukam dan sekitar, juga dirasakan warga Sogo, yang enam tahun berjuang merebut lahan yang dikuasai PT. Bukit Bintang Sawit (BBS). Konflik bermula saat Sogo yang diklaim Desa Tanjung dijual ke BBS.
Pada 2007, BBS mendapatkan izin lokasi 1.000 hektar di Desa Tanjung. Bupati Muaro Jambi Burhanudin Mahir juga memberikan izin lokasi di Seponjen lewat SK No.57/2007 seluas 1.000 hektar.
Masalah muncul ketika BBS mulai membangun jalan menghubungkan lahan di Tanjung menuju Sponjen, melewati Sogo. Pemerintah Desa Tanjung mengklaim jalan yang dilewati BBS adalah wilayah adat memilih menjual ke perusahaan. BBS tak hanya membangun jalan, tetapi mulai melebarkan lahan ke perkebunan warga.
“Desa Sogo dianggap tidak ada. Jadi, tanah itu diklaim milik Tanjung dan dijual ke BBS,” kata Antoni Sekretaris Desa Sogo.
Dia bilang pada 2008, Pemerintah Desa Tanjung dan Sogo sepakat soal tapal batas. Kesepakatan ini dilanggar setelah BBS menawarkan diri untuk menggarap kawasan adat Kelurahan Tanjung.
Mongabay menemui, Abu Bakar Jiddin, mantan ketua lembaga adat Kumpeh yang disebut-sebut terlibat pelepasan wilayah adat Desa Sogo yang diklaim Tanjung ke BBS.
Abu Bakar menegaskan, kalau lahan yang dijual merupakan wilayah Tanjung. Dia menunjukkan, surat perjanjian yang diteken oleh Penghulu (Kades) Sogo, Penghulu Dusun—kini Desa—Tanjung, Pesirah, dan Camat Kumpeh pada 1976, soal tapal batas Dusun Tanjung dan Sogo.
Dalam surat perjanjian itu tertulis arah (menuju) ke Jambi, Sungai Balam milik Tanjung. “Seberang Sungai Kumpeh menuju Talang Tanjung atau Parit Putus milik Kelurahan Tanjung,” kata tetua Tanjung ini.
Sebelah hulu kanan Pematang Gedemamat ke Sungai Hantu, Batang Semi menuju Sungai Bekun jadi milik Tanjung, sampai dengan Selat termasuk Batang Tanjung. Sedang Talang Belubang milik Dusun Sogo, sebelah laut menuju hulu. Sebelah barat menuju hulu hutan Tanjung berbatasan dengan Dusun Seponjen.
“Kelurahan Tanjung tidak berbatasan dengan Sogo, tetapi dengan Desa Seponjen,” katanya.
Berdasarkan surat perjanjian ini, Abu Bakar meyakinkan jika kebun BBS yang diributkan bukan di Desa Sogo. “Bagian dia (Sogo) ada. Dari Parit putus berbatasan dengan Pulau Tigo milik Sogo. Parit Putus berbatasan dengan Sponjen milik Kelurahan Tanjung.”
Dia menuding ada oknum pemerintah Desa Sogo yang punya kepentingan pribadi hingga mengklaim lahan adat yang dijual Desa Tanjung merupakan wilayah Sogo.
Data dari Walhi Jambi, berdasarkan berita acara rapat tapal batas wilayah Kelurahan Tanjung dengan Desa Sogo 4 November 2008, menyebut, batas Desa Sogo dengan Desa Tanjung berawal dari Simpang Medang ke darat menuju Lubuk Gajah–wilayah inilah yang diklaim kelompok Datuk Subak sebagai wilayah Tanjung dan dijual ke BBS.
Hasil kesepakatan ini kemudian jadi pedoman Pemerintah Muarojambi, untuk menetapkan batas wilayah Desa Sogo pada 2018. Sebelah utara Desa Sogo, berbatasan dengan Desa Rantau Panjang dan Kelurahan Tanjung. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung.
Sebelah selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Seponjen dan Desa Rantau Panjang. Hasil pemetaan BPN Muarojambi, 797 hekatar wilayah Sogo masuk perkembunan BBS.
Sejak 2013, konflik warga Sogo dengan BBS menajam dan berlanjut hingga sekarang. Warga berulang kali demo dan menduduki lahan BBS, menuntut tanah adat desa mereka kembali.
Upaya penyelesaian konflik lahan berjalan lambat. Mediasi difasilitasi Pemkab Muarojambi, tak sekalipun mempertemukan warga dengan perusahaan.
“Jadi kalau mediasi itu, perusahaan ketemu dengan pemerintah kabupaten, baru nanti disampaikan pada kami. Kami minta agar ketemu langsung dengan perusahaan tapi tak pernah bisa,” kata Antoni.
“Kalau kita nuntut lahan dikembalikan, kalau perusahaan keberatan karena modal sudah banyak keluar, kita minta dimitrakan.”
Sebulan sebelum Pemilu 2019, Pemkab Muarojambi mulai verifikasi data kepemilikan lahan di Desa Sogo, Kelurahan Tanjung, Desa Seponjen dan Dusun Pulau Tigo. Hingga sekarang, belum ada kejelasan dari hasil verifikasi yang dilakukan.
Sekitar 25 keluarga warga Desa Tanjung kelompok Yunus juga menuntut kembali lahan 100 haktar yang dikuasai BBS. Mereka mengaku tak pernah menjual lahan dan tak pernah menerima uang ganti rugi dari BBS.
Lahan BBS tak hanya bermasalah dengan warga Desa Sogo dan Tanjung, juga dengan warga Desa Sponjen dan Pulau Tigo. Sebanyak 28 keluarga di Sponjen menuntut lahan 176 hektar yang kini jadi perkebunan sawit milik BBS.
Konflik di Sponjen dengan BBS bermula pada 2007, saat perusahaan sawit itu mendapatkan izin lokasi 1.000 hektar dari Bupati Burhanudin Mahir.
Berdasar catatan Walhi Jambi, pada 9 Maret 2007, warga Seponjen dan BBS sepakat dengan pola kemitraan. Jelang Idul Fitri, perusahaan membagikan uang Rp1 juta pada anggota kelompok tani dan diminta tanda tangan dan cap jempol.
Tanpa menaruh curiga dan tahu tujuan perusahaan, 70 wakil keluarga menerima uang dari BSS. Kata Budi, warga Seponjen mengira uang ini tunjangan hari raya dari perusahaan. Uang itu dibagikan siang hari pada ibu-ibu saat suami mereka tak di rumah.
Nah, kebiasaan masyarakat ini dahulu waktu masih logging kayu balok masyarakat ini punya ikatan per RT punya usaha kayu memang hampir setiap Lebaran itu selalu ada THR dari desa kadang Rp1 juta kadang Rp3 juta,” katanya.
Abu Bakar Jiddin menunjukkan perjanjian tapal batas antara Desa Sogo dengan Desa Tanjung yang ditandatangani Camat Kumpeh 1976. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia
Budi cerita, uang itu dibagikan siang hari. Sore hari, warga Seponjen mulai ribut soal uang Rp1 juta dan tanda tangan. Setelah ditelusuri, diketahui uang itu pembelian lahan masyarakat. Sekitar 76 keluarga menolak menjual lahan.
Jelang perayaan Idul Adha, perusahaan kembali membagikan uang Rp1,5 juta sebagai ganti rugi lahan. Hingga akhir 2015, hanya tersisa 28 keluarga menolak. Mereka menunut lahan 176,4 hektar yang kini ditanami sawit bermitra sesuai perjanjian awal.
“Totalnya, setiap keluarga waktu itu terima Rp2,5 juta,” kata Budi.
Dari luas tanah adat Desa Seponjen, setiap keluarga memiliki bagian 6,3 hektar sesuai surat seporadik yang dikeluarkan Kepala Desa Seponjen pada 2006 dan 2007, sebelum BBS datang.
Udah beberapa kali aksi di lahan (BBS) aksi di kantor bupati dan DPR, semua hasil nol. Nggak ada yang menanggapi,” kata Budi.
“Sudah puas kami nuntut tiap tahun, tiap tahun aksi.”
Lahan yang dikuasai BBS, sebelumnya berupa hutan gambut, kebun karet, kebun jagung. Semua tanaman dan pondok kini habis digusur berganti sawit.
Warga Dusun Pulau Tigo, ikut ribut. Sebanyak 42 keluarga menolak uang ganti rugi dari BBS. “Maaf ngomongkalo duit ini sesaat habis,” kata Supriadi, Warga Pulau Tigo.
Warga menuntut lahan 300 hektar yang kadung ditanami sawit agar dimitrakan kalau BBS tak mau mengembalikan.
Supriadi bilang, ada jual beli lahan antara BBS dengan warga Pulau Tigo tetapi di luar lahan 300 haktar yang dipermasalahkan warga.
“Dulu, itu kebun karet, pinang, tempat kami mengambil rotan dan ikan. Karena kebarakan ( 2007) ladang dan kebun warga habis. Sebagian kebun milik warga akhirnya dijual.”
Dari izin lokasi 1.000 hektar di Seponjen, hanya 600 hektar berhasil dikuasai BBS dari kelompok tani Seponjen Sejahtera. Sebanyak 400 hektar dikuasai PT Wahana Seponjen Indah.
Humas BBS, Suherman menegaskan, semua lahan yang digarap telah diganti rugi. Perusahaan memberi Rp3 juta pada setiap keluarga yang mau jual lahan. “Sebenarnya, banyak yang nuntut sekarang ini anak-anaknya, dulu kita ganti rugi dengan orang tuanya, ketuanya sendiri Budiman (Seponjen) itu sudah terima ganti rugi juga.”
“Yang di Tanjung 1.000 hektar itu beli semua dari kelompok tani ada sebagian dari masyarakat,” kata Suherman.
Saat pelepasan lahan di Desa Tanjung, katanya, sudah ada kesepakatan dengan pihak RT, lingkungan dan lurah. “Kita juga nggak tau kalau ada masyarakat merasa belum menerima ganti rugi.”
Permasalahan di Sogo muncul, setelah konflik tapal batas antara Desa Sogo dengan Desa Tanjung, berubah jadi klaim kepemilikan lahan. “Kalau tapal batas kan hanya administrasi bukan hak kepemilikan, itu yang nggak bisa kita terima.”
Suherman bilang, masalah Desa Sogo, muncul setelah pembayaran ganti rugi. Dia yakin, tak semua warga Sogo menuntut kembali lahan mereka. Ada 150 keluarga pro ke Ketua BPD, memilih menerima ganti rugi. “Yang pro kades itu yang sampai sekarang menuntut kembalikan lahan.”
BBS menawarkan warga untuk mencari lahan baru di luar izin HGU BBS sebagai ganti lahan yang dipermasalahkan. “Kalau masyarakat sanggup seluas-luasnya kita siap (beli), kita nggak ada ngebatasi luasan. Tinggal kesepakatan pola saja macam mana. Ini kemitraan ntah itu bagi hasil, bagi fisik tinggal kesepakatan.”
Najamuddin, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Muarojambi mengatakan, verifikasi administrasi tim terpadu pada warga Desa Sogo, Seponjen, Dusun Pulau Tigo dan Kelurahan Tanjung, telah rampung. Verifikasi untuk memastikan, yang mengklaim lahan sengketa dengan BBS benar warga setempat.
“Verifikasi itu memastikan benar dak dio (warga yang menuntut) itu warga Sogo. Agek barang tu dapat (lahan) masuk si B si C.”
Najamuddin mengatakan, seharusnya minggu ini pemerintah Muarojambi kembali bertemu dengan BBS untuk menyelesaikan konflik lahan. “Darius (pemilik BBS) lagi ke luar negeri, jadi ditunda minggu depan.”
Di atas tanggul perusahaan PT. BBS, Antoni, Sekdes Sogo menunjukkan lahan adat Desa Sogo yang menjadi perkebunan sawit. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia
Potensi konflik
Lebih dari 1 juta hektar lahan di Jambi jadi izin 186 perusahaan perkebunan. Luas ini hampir setara tiga kali Muaro Jambi. Data Dinas Perkebunan Jambi, mencatat sekitar 80 perusahaan memiliki izin hak guna usaha (HGU) seluas 248.000 hektar dari 962.000 hekatar izin usaha perkebunan (IUP) yang dikeluarkan permerintah.
Perkebunan sawit di Jambi, tersebar di Batanghari, Tebo, Merangin, Sarolangun dan Bungo, serta tiga kabupaten dengan gambut terluas di Jambi, yakni Muaro Jambi, Tanjab Timur dan Tanjab Barat.
Pancapria, Kabid Pengembangan dan Penyuluhan Dinas Perkembunan Jambi mengatakan, kalau tak semua IUP yang dikeluarkan pemerintah dikuasai perusahaan. Dari 962.000 hektar, sekitar 500 ribuan dikuasai perusahaan alias sudah ditanam.
Sektor perkebunan sawit memiliki dampak besar pada ekonomi masyarakat di Jambi. Pemerintah Jambi, mengupayakan perkebuan sawit berkelanjutan.
“Sekitar 1,5 juta warga di Jambi bergantung sawit,” katanya.
Perkebunan sawit di Jambi, juga menyimpan potensi konflik cukup tinggi. Walhi Jambi mencatat, 130 desa di lahan gambut. 84 desa berpotensi konflik dengan perusahaan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
“Ke-84 desa itu tinggal momentum meledak, konflik terjadi,” kata Rudiansyah, seraya bilang, kini ada 40 desa berkonflik dengan perusahaan.
Konflik dipicu pola pengelolaan. “Rata-rata izin konsesi tidak dimitrakan dengan masyarakat sekitar. Sebagian karena penguasaan lahan tak clear,” kata Dwinanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi.
Dalam catatan Walhi, pada 2018, terjadi 43 konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit di enam kabupaten di Jambi. “Contoh, di Sogo dengan BBS belum selesai sampai sekarang.”
Warga, paling terdampak konflik. Ekonomi terganggu, hasil pertanian menurun, bahkan hidup keluarga bisa berantakan.
Tak hanya itu, perusahaan sawit juga kerap memonopoli air hingga timbul krisis air di sekitar konsesi perusahaan. Lahan pertanian kering, dan krisis air bersih. Belum lagi, masalah pencemaran limbah perusahaan.
Riska, yang tingal di sekitar perkebunan sawit di Desa Pandan Sejahtera, Kecamatan Geragai, Tanjab Timur merasakan, dampak krisis air bersih. Sepuluh tahun terakhir warga Geragai mulai kesulitan mendapat air. Mereka harus membuat sumur bor dengan kedalaman puluhan meter untuk mendapatkan air.
“Itupun masih ada kandungan zat besi, seng dan lain-lain. Tidak bisa dimasak. Sebagian pakai air hujan.”
Sawit rakus air juga memicu kekeringan di lahan gambut. Walhi Jambi mendorong, pemerintah mengevaluasi izin perusahaan bermasalah dan mengkaji dampak lingkungan terutama perkebunan di gambut.
Saat ini, peluang terbuka untuk evaluasi perizinan kebun sawit karena pemerintah sudah menerbitkan kebijakan moratorium sawit. Lewat aturan ini, pemerintah berjanji mengkaji ulang izin-izin sawit yang sudah keluar. Selain itu, titah presiden beberapa kali, kepada jajaran menteri agar menyelesaikan konflik antara masyarakat dan perusahaan, termasuk yang berada dalam konsesi maupun HGU.
“Jika tak ditangan serius, bencana kebakaran 2015, bisa terulang,” kata Rudiansyah.
Keterangan foto utama:    Desa Rukam di pinggir Sungai Batanghari. Sejak dibangun tanggul PT EWF, banjir yang menggenangi desa saat musim penghujan menjadi semakin dalam. Keberadaan kebun sawit PTW juga membuat lahan pertanian warga kering saat kemarau. Foto: Walhi Jambi

Sumber : Mongabay

Jadilah Bagian dari WALHI Jambi

AYO BERDONASI

Tidak ada hal yang sepele dalam gerakan penyelamatan lingkungan

Kunjungi Kami di Instagram

Kamu Harus Baca Juga ini :