Akhir-akhir ini kita disuguhkan konflik[3] yang disebabkan “salah urus” pengelolaan sumber daya alam. Konflik yang disebabkan “salah urus” negara didalam mengelola sumber daya alam meninggalkan persoalan yang menganga dan jurang yang semakin dalam.
Salah urus di Jambi disebabkan adanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Kebijakan negara didalam menetapkan kawasan merupakan muara pertama dari ketimpangan penguasaan sumber dayalam.
Pertama. Luas kawasan hutan Jambi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan[4]adalah 2.179.440 Ha dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 1. Luas Kawasan Hutan
No
|
Fungsi
|
Luas (Ha)
|
1.
|
Kawasan Hutan Konservasi
|
676.120
|
2.
|
Kawasan Hutan Lindung
|
191.130
|
3.
|
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
340.700
|
4.
|
Kawasan Hutan Produksi (HP)
|
971.49
|
Total
|
2.179.440
|
Sumber : Dari Berbagai Sumber (WALHI Jambi, 2013)
Namun penguasaan kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.
Rencana “pengusiran masyarakat di Desa Tanjung Kasri dan Renah Kemumu adalah sekedar fakta yang membuktikan masyarakat harus berhadapaan dengan negara didalam mengelola kehutanan.
Belum lagi “persoalan Lembah masurai” yang meninggalkan persoalan antara masyarakat yang menjaga hutan dan masyarakat yang dituduh merambah.
Selain itu negara tidak mampu menjaga kawasan hutan. Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.
Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan dapat dilihat 818 ribu hektar sudah ditetapkan untuk HTI[5].
Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan timbulnya konflik. Catatan Walhi Jambi[8] menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[9].
Data-data konflik inilah kemudian dilakukan penggambaran secara umum sehingga bisa menggambarkan dan pandangan multistakeholder untuk membaca konflik.
Dengan data-data yang telah terhimpun, kemudian dikomparasikan dengan data-data dari APHI dan Dinas Kehutanan, Walhi Jambi kemudian atas dukungan dari UNDP melakukan pemetaan.
Dari hasil bacaan pemetaan yang telah dilakukan oleh Walhi Jambi atas dukungan dari UNDP, maka tipologi konflik dapat diketahui.
Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik.
Merata di berbagai daerah. Baik dimulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan kabupaten Merangin) kemudian di daerah tengah (kabuaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari) dan di daerah hilir (Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan tanjabbar).
Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai[10], PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[11]. Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5 kabupaten.
Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan terutama batubara[12].
Kedua. Konflik yang semakin meluas. Hasil data-data yang berhasil dihimpun oleh Walhi Jambi yang kemudian diolah bersama-sama dengan UNDP menunjukkan Sarolangun menunjukkan konflik lebih dari 10 konflik disusul Kabupaten Muara jambi dan Kabupaten Batanghari.
Sarolangun juga menunjukkan angka 30 ribu areal yang berkonflik.
Sarolangun menunjukkan perhatian dari tim inventarisasi dan resolusi konflik disampaikan beberapa kasus yang berkaitan dengan perkebunan merupakan kewenangan dari kabupaten. Dinas Perkebunan mendapatkan perkembangan (up to date) dari Kabupaten.
Dari Karang Mendalo, para pihak sudah menyampaikan perkembangan dari penyelesaiannya. Begitu juga antara PT. JAW dan PT EMAL yang belum ada perkembangan berarti.
Sedangkan kasus PT. Asiatic Persada, mulai dapat diselesaikan verifikasi dan validasi terhadap penempatan SAD. Luas wilayah 2 ribu hektar termasuk kedalam 17 kelompok. Masih ada 65 kk atau 1 kelompok yang masih belum diselesaikan. Semuanya ditempatkan didalam kawasan izin PT. Jamer Tulen.
Sedangkan data-data Walhi Jambi menunjukkan sektor sawit, salah satu menyumbang berbagai konflik di Jambi.
TABEL 2. KERUSUHAN MASSAL DI SEKTOR SUMBER DAYA ALAM
NO
|
TAHUN
|
KASUS
|
KETERANGAN
|
1
|
November 1998 di
Tungkal Ulu di Kab. Tanjab |
Pembakaran PT. DAS
|
Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan tersangka.
|
2
|
April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute
|
Pembakaran PT. TEBORA
|
Kota Bungo mencekam karena adanya issu masyarakat akan melakukan penyerangan. Jumlah data masyarakat yang dijadikan tersangka tidak tersedia
|
3
|
September 1999 di
Empang Benao Kab. Bangko |
Pembakaran PT. KDA
|
13 orang dijadikan tersangka dengna pasal 170, 363, dan 218 KUIIP
|
4
|
Januari 2000 di
Tanah Tumbuh Kab. Bute |
Pembakaran PT. Jainika Raya
|
13 orang dijadikan tersangka dengan pasal yang berlapis seperti pasal 170, 187,406,412,164KUHP
|
5
|
Juni 1999 di Jambi
|
Pengrusakan Kantor Gubernur
|
4 orang mahasiswa sebagai terdakwa dengan pasal 170 KUHP
|
6
|
Juni 2001 di Jambi
|
Pengrusakan Kantor Polda Jambi
|
13 orang mahasiswa sebagai tersangka dan 4 orang kemudian dijadikan terdakwa di pengadilan Negeri Jambi dengan tuduhari pasal 160, 170, 187 KUHP dan pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951.
|
7
|
September 2002 di Bungo
|
Pengrusakan PTPN VI
|
18 Orang dijadikan tersangka dengan tuduhari pasal 170 KUHP
|
8
|
Agustus 2006 di Jambi
|
Pengrusakan kantor
BKSA |
2 orang dijadikan tersangka dengan pasal
17, 18 UU No. 9 Tahun 1998 dan Pasai 406 |
9
|
Desember 2005 di
Sungai Penuh Kabupaten Kerinci |
Kerusuhan di Sungai Penuh
|
8 orang dijadikan tersangka dengan 8 berkas pidana terpisah
|
10
|
Desember 2006 di
Singkut Kabupaten Sarolangun |
Pembakaran PT. DIPP
|
_______________________________
27 orang dijadikan tersangka dengan 5 berkas terpisah |
11
|
Desember 2007 di
Lubuk Madrasah Kabupaten Tebo |
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS
|
9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas terpisah.
|
Melihat konflik di sektor perkebunan kelapa sawit, penulis menyoroti arsitektur yang melingkupinya[13].
Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama, bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula. Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian effektif dan berhasil untuk menggeser itu.
Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara menggunakan hukum kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum.
Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai.
Konflik dan HTI
Di sektor HTI, penguasaan tanah dapat dilihat tabel 3.
Tabel 3. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
NO
|
PERUSAHAAN
|
LUAS (Ha)
|
1
|
PT. Wirakarya Sakti (WKS)
|
293.81
|
2
|
PT. Rimba Hutani Mas (RHM)
|
51, 260
|
3
|
PT. Tebo Multi Agro
|
19, 770
|
4
|
PT. Wanakasita Nusantara
|
9, 030
|
5
|
PT. Wanamukti Wisesa
|
9, 267
|
6
|
PT. Wana Perintis
|
6, 900
|
7
|
PT. Wana Teladan
|
9, 800
|
8
|
PT. Dyera Hutani Lestari
|
8, 000
|
9
|
PT. Samhutani
|
35, 955
|
10
|
PT. Limbah Kayu Utama
|
19, 300
|
11
|
PT. Arangan Hutan Lestari
|
9, 400
|
12
|
PT. Gamasia Hutani Lestari
|
19, 675
|
13
|
PT. Jebus Maju
|
15, 012
|
APP sebagai group PT. WKS telah menguasai 293.812 Ha dengan komposisi untuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 138.669 Ha, Kab. Tanjung Jabung Timur 48.507 Ha, Kab. Batanghari 76.691 Ha, Kab. Muaro Jambi 13.029 Ha dan Kab. 16.916 Ha[14].
Akibatnya adalah konflik yang telah memakan korban. Dimulai dari penguasaan tanah lebih kurang 37 ribu yang berada di 5 Kabupaten (Kabupaten Tebo, Kabupaten Muara jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan kabupaten Tanjung jabung Barat)[15].
Dalam proses di persidangan, PT. WKS telah berhadapan dengan terdakwa 17 orang di Pengadilan Negeri Tebo, Pengadilan Negeri Muara Jambi, Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur.
Di Pengadilan Negeri Muara Tebo dengan tuduhan pembakaran pos jaga PT. WKS di jalur koridor. Di Pengadilan Negeri Muara Jambi dengan tuduhan “penggelapan uang anggota PPJ”, di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dengan tuduhan “pembakaran areal perusahaan” dan di Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur dengan tuduhan “menyerobot lahan perusahaan”.
Dari catatan yang telah penulis sampaikan, maka konsentrasi penulis terhadap konflik antara masyarakat dengan HTI, maka konsentrasi terhadap penguasaan areal APP merupakan salah satu persoalan yang paling banyak menyita perhatian.
Catatan Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan konflik yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi.
Catatan ini merupakan rangkaian panjang dari surat dari Pemerintah Propinsi Jambi yang menyebutkan adanya berbagai opsi penyelesaian terhadap areal APP. Baik dengan model enclave, ganti rugi/kompensasi dan penegakkan hukum[16].
Bandingkan dengan model pengamatan dari APP yang melihat konflik dengan tiga bentuk yaitu
- Klaim. Area dalam konsesi yang diakui secara sepihak oleh pihak lain, sesudah keluarnya izin IUPHHKHT.
- Okupasi. Areal dalam konsesi yang telah dikuasai dan diusahakan sebelum terbitnya izin IUPHHKHT.
- Overlapping. Areal dalam konsesi yang diakui oleh pihak lain atas dasar adanya perizinan dari instansi berwenang
Dengan melihat perspektif Pemerintah Propinsi Jambi dan pandangan dari APP melihat konflik menyebabkan persoalan pokok dari konflik itu menyebabkan konflik ini belum dapat diselesaikan.
[1] Tema yang disampaikan dari Forest Watch Indonesia “Kondisi dan Persoalan Pembangunan HTI dan Ekspansi Pulp and Paper di Provinsi Jambi”. Namun untuk memudahkan pembahasan, saya menawarkan Judul “Konflik dan HTI di Jambi. Disampaikan dalam Pertemuan Konsolidasi “Membangun Sinergi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Kampanye dan Advokasi Bersama dalam Merespon Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Ekspansi Industri Pulp dan Kertas”, Jakarta, 18 Juli 2014,
[3] Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara). Term ini sedikit lebih luas yang telah disampaikan oleh Sawit watch “Pelatihan Negosiasi dalam Konflik Sumber daya alam”, Sawit watch – Scale up, Bogor, 2011, Hal. 1.
[5] Dalam diskusi konflik di Walh Jambi, 5 Mei 2014, Ir. Irmansyah, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan menyebutkan dari kawasan hutan 2,1 juta hektar, 1,2 juta telah ditetapkan. 800 ribu hektar telah diberikan kepada konsensi perusahaan. Sedangkan sisanya untuk kawasan yang harus dijaga. Dengan model 300 ribu hektar untuk kawasan restorasi yang telah diberikan kepada PT. REKI seluas 46 ribu hektar. Dan 400 ribu akan dicanangkan untuk masyarakat melalui model PHBM (Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang biasa dikenal dengna model seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat).
[6] Jaringan Advokasi Anti Tambang menyebutkan sekitar 406 konsensi tambang (22%) wilayah Jambi telah diberi konsensi pertambangan dengan luas 1,092 juta hektar. Diskusi Tambang, Walhi Jambi, Jambi, 5 April 2014
[7] Perkebunan Besar Kelapa Sawit yang sudah eksisting sampai tahun 2012. Dari rencana sejuta hektar sawit. Data diolah dari berbagai sumber.
[10] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal batas yang belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[12] Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[14] Data diolah dari berbagai sumber. Paparan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi tahun 2011, Paparan APP Mei 2013 dan data-data Walhi
[16] SURAT SEKDA PEMERINTAH PROVINSI JAMBI a/n GUBERNUR JAMBI N0. 522/296/I-Ekbang TGL 23-01-07