Pagar Listrik Ancam Gajah, Walhi: Pemicu Alih Fungsi Hutan

Sumber Foto : Pixabay

Populasi gajah Sumatera di kelompok Bukit Tigapuluh diperkirakan ada 120, 80% menjelajah di luar kawasan konservasi. Mereka dominan menjelajah di perkebunan warga dalam kawasan hutan dan konsesi perusahaan, termasuk perkebunan karet LAJ.

Pada 2010, LAJ mendapatkan izin HTI seluas 61.495 hektar di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), rumah bagi satwa terancam punah. Konsesi LAJ merupakan bekas izin PT Industries et Forest Asiatiques (IFA), perusahaan kayu asal Prancis yang dibeli Barito Pasific. IFA mendapatkan izin konsesi lebih 100.000 hektar pada 1970-an berakhir 2007.

Dalam laporan berjudul “Last Chance to Save Bukit Tigapuluh” rilis oleh KKI Warsi, Frankfurt Zoological Society, Eyes on the Forest dan WWF-Indonesia pada 14 Desember 2010 menyebut, setidaknya ada 30 harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), 150 gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan 130 orangutan Sumatera (Pongo abelii) berbagi ruang hidup di sana.

Pada 2018, LAJ mencadangkan 9.700 hektar lahan di kanan jalan koridor PT Wira Karya Sakti, grup Sinarmas Grup, sebagai wilayah cinta alam (WCA) untuk kawasan konservasi dan habitat satwa liar. Tetapi perambahan terjadi begitu masih di dalamnya. Banyak kebun masyarakat yang setiap tahun luas terus bertambah. LAJ mencatat hanya 2.800 hektar kondisi masih berhutan. Sejak 2008-2017, FKGI mencatat, lebih dari 189.000 hektar hutan di kawasan penyangga ekosistem Bukit Tigapuluh beralihfungsi. Hilangnya habitat jadi pemicu konflik berkepanjangan antara gajah dengan warga lokal dan pendatang. Selama 13 tahun terakhir, setidakya empat orang meninggal karena konflik dengan satwa.

Sepanjang 2019, terjadi 277 konflik gajah dengan manusia. Pada 2020 terdapat 275 kasus. Tahun 2021, konflik meningkat jadi 314 kasus. Masyarakat di Tebo kerap meradang karena ladang dan kebun jadi bulan-bulanan gajah lapar.

Dalam catatan Mongabay, 10 gajah mati selama 2013-2022. Empat diduga mati diracun. Di luar data itu, pada 2022, petugas BKSDA Jambi menemukan bangkai anak gajah di Desa Suo-Suo dan satu tengkorak gajah di konsesi LAJ berbatasan dengan PT. Alam Bukit Tigapuluh. Pada 2021, juga ditemukan tengkorak gajah di Desa Pemayungan sampai sekarang belum diketahui penyebab kematiannya.

Data FKGI menunjukkan fakta lebih miris, selama 10 tahun terakhir setidaknya 700 gajah Sumatera mati akibat diracun, atau diburu untuk diambil gadingnya. Pada 1985, Indonesia masih memiliki 44 kantong populasi gajah Sumatera. Namun, 2007 jumlah berkurang drastis tinggal 25 kantong. Dari jumlah itu, hanya 12 kantong memiliki populasi lebih dari 50. Salah satunya, di kawasan ekosistem Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Eko Mulia Utomo, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi, menilai bahwa ancaman terbesar terhadap populasi gajah di Bukit Tigapuluh bukanlah pagar listrik yang dipasang oleh warga, tetapi alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan. Menurutnya, perubahan penggunaan lahan dari hutan alami menjadi lahan perkebunan dan hutan tanaman industri telah mengakibatkan banyaknya kasus kematian gajah dan konflik antara manusia dengan satwa.

Walhi Jambi mencatat bahwa ratusan ribu hektar hutan di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dikonversi menjadi izin perkebunan monokultur dan hutan tanaman industri. Perubahan ini berdampak pada hilangnya habitat alami bagi gajah dan satwa liar lainnya. Akibatnya, ruang jelajah gajah menjadi terbatas dan cadangan makanan mereka berkurang drastis, sehingga gajah-gajah ini terpaksa masuk ke kebun masyarakat untuk mencari makan.

Eko menjelaskan bahwa sebelum masyarakat memasang pagar listrik, mereka telah mencoba berbagai cara untuk melindungi kebun mereka dari serangan gajah. “Warga memasang pagar listrik itu untuk melindungi kebun. Sebelum itu, mereka sudah mencoba pakai obor, petasan, dan menjaga kebun secara langsung, tapi tidak berhasil. Akhirnya, pilihan terakhir mereka adalah menggunakan pagar listrik. Jadi, bukan tiba-tiba langsung menggunakan pagar listrik,” katanya. Ini menunjukkan bahwa tindakan masyarakat bukan tanpa alasan, melainkan karena mereka tidak memiliki pilihan lain yang efektif untuk melindungi tanaman mereka.

Eko menegaskan bahwa pemerintah dan pemilik izin konsesi yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian gajah, termasuk kasus terbaru yang menimpa gajah bernama Umi. Dia mendorong pemerintah dan semua pemegang izin konsesi untuk menyiapkan wilayah konservasi yang tidak berdekatan dengan wilayah kelola masyarakat. Hal ini penting untuk meminimalkan konflik antara manusia dan satwa. Selain itu, Eko juga menekankan pentingnya pemerintah untuk lebih mempertimbangkan kondisi lapangan sebelum memberikan izin konsesi. “Kematian gajah itu berangkat dari negara yang memberikan izin konsesi perusahaan di wilayah kelola masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan gajah,” ujarnya. Dengan demikian, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk melindungi habitat alami gajah dan memastikan bahwa mereka dapat hidup berdampingan dengan manusia tanpa konflik yang merugikan kedua belah pihak.

Sumber. : Mongabay
Baca Selengkapnya

Jadilah Bagian dari WALHI Jambi

AYO BERDONASI

Tidak ada hal yang sepele dalam gerakan penyelamatan lingkungan

Kunjungi Kami di Instagram

Kamu Harus Baca Juga ini :