Jambi, 19 Desember 2014
Sebuah laporan baru dari Forest Peoples Programme dan mitra-mitra LSM Indonesia mengungkapkan sejumlah konflik sosial yang belum tuntas di sektor hutan tanaman industri milik sebuah perusahaan Indonesia yang ternama, yang berkomitmen ‘Tak ada Deforestasi’. Laporan tersebut merinci proses yang cacat dalam penyelesaian konflik perampasan tanah- tanah milik masyarakat oleh perusahaan pulp dan kertas, Asia Pulp and Paper di Sumatra, untuk dijadikan perkebunan hutan tanaman industri bubur kertas. APP adalah perusahaan milik konglomerat tersohor Sinar Mas, berpusat di Jakarta.
Berikut adalah apa yang dikatakan Patrick Anderson, Penasihat Kebijakan Forest Peoples Programme, yang memimpin survei di Provinsi Jambi, Sumatra :
“Investigasi lapangan kami menunjukkan betapa mengecewakannya upaya-upaya rintisan penyelesaian konflik yang dilakukan APP di Jambi sampai saat ini. Kesepakatan yang dipaksakan kepada Kelurahan Senyerang adalah kesepakatan yang berat, dan tidak sejalan dengan komitmen kebijakan APP. Masyarakat hanya mendapatkan hak pemanfaatan untuk menanam karet di atas lahan yang luasnya hanya seperdelapan (12,5%) dari luas keseluruhan tanah adat mereka, 7.224 Ha, yang dirampas, sementara mereka hanya memperoleh pembayaran tak berarti untuk pohon akasia yang ditanam perusahaan di tiga perdelapan (37,5 %) dari 7.224 Ha tanah mereka. dan diperkirakan akan kehilangan hak atas tanah milik mereka yang tersisa”,
Jambi ekspres 20 Desember 2014 |
Laporan ini mendokumentasikan bagaimana Kelurahan Senyerang, yang tanahnya diakui pada zaman penjajahan Belanda, kehilangan tanahnya dirampas oleh anak perusahaan APP PT Wira Karya Sakti. Protes masyarakat atas perampasan tanah tersebut pada awalnya ditanggapi dengan kekerasan oleh perusahaan dan aparat keamanan negara. Ketika APP mengadopsi Kebijakan Konservasi Hutannya yang baru di tahun 2013, perusahaan mulai berupaya mengatasi konflik lahan di masa lalu dengan cara-cara yang sejalan dengan praktik terbaik industri. Kelurahan Senyerang dipilih sebagai kasus percontohan oleh APP dan penasihatnya, The Forest Trust, yang kini terus bekerja untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut sejak Januari 2013.
Rudiansyah, dari WALHI Jambi menyatakan bahwa :
“Lebih dari seratus desa di Jambi yang lahan dan hutan mereka dirampas secara tidak adil oleh APP untuk hutan tanaman industri atau akasia. Proses penyelesaian konflik di Senyerang dimaksudkan sebagai langkah rintisan bagaimana menyelesaikan konflik- konflik tersebut. Namun hasil yang buruk dari rintisan ini menimbulkan keraguan tentang ketulusan APP untuk menangani warisan persoalan pelanggaran hak masyarakat sejak masa sebelumnya”,
Harry Oktavian, dari Scale Up, Pekan Baru, Riau, menegaskan bahwa :
“Kami menyambut baik upaya APP mengadopsi ‘Forest Conservation Policy’ tahun lalu, namun kami menilai perusahaan berdasarkan apa yang kami saksikan di lapangan, bukan dari apa yang mereka katakan di atas kertas. Investigasi lapangan kami mengungkapkan banyak persoalan sosial yang serius dan pelanggaran komitmen oleh anak perusahaan APP, PT WKS. Perusahaan ini perlu berupaya lebih keras untuk memulihkan malpraktek masa lalu sebelum kami bisa yakin bahwa merek a memang ‘sustainable’”,
Syahrul Khairi, tokoh pejuang muda Senyerang menyatakan :
“Kami senang bahwa laporan ini telah ditulis, karena kami ingin agar masyarakat desa lain yang telah kehilangan tanah diambil oleh WKS dan APP bisa belajar dari pengalaman kami dalam upaya mendapatkan keadilan. Harapan kami masyarakat di desa lain tersebut bisa memperoleh pengakuan hak atas tanah-tanah adat mereka, dan kompensasi yang adil atas penggunaan tanah mereka oleh pihak lain”,
Tautan,
Riset tentang WKS
Kontak,
Syahrul Khairi, Tokoh Masyarakat Senyerang, arulhairi@yahoo.com, +62853 7711 9326
Rudiansyah, Koordinator Kampanye dan Advokasi, Walhi Jambi, rudi.jambi@gmail.com +62813 6669 9091
Hary Oktavian, Direktur, Scale Up, arrybule@yahoo.com +62812 752 5289
Emil Kleden, FPP, kleden.emilola1@gmail.com +6281311683111
Patrick Anderson, FPP, patrick@forestpeoples.org