Sidang ketiga Ibu Dewita : Mengupas Fakta Persidangan Kasus Pembakaran Lahan di Konsesi PT ABT

Tebo, 2024 – Kasus hukum yang menjerat Dewita Br Silalahi, seorang ibu rumah tangga dari Desa Pemayungan, memasuki babak baru pada persidangan ketiga di Pengadilan Negeri Tebo. Agenda sidang kali ini menghadirkan dua saksi fakta, yakni Gundra bin Samuri, anggota Polri yang berdomisili di Sungkawang, dan Imran bin M. Somad, Koordinator Pemadam Kebakaran dari PT Alam Bukit Tiga Puluh (PT ABT). Keterangan mereka memberikan gambaran mendalam tentang kejadian yang terjadi di lokasi kebakaran lahan pada 31 Juli 2024.

Keterangan Saksi Gundra bin Samuri

Gundra mengisahkan bahwa dirinya bersama tim Forkopimda melakukan patroli karena laporan hotspot dari BMKG. Mereka menemukan Dewita di lokasi sedang menebas dan mengumpulkan kayu. Lokasi tersebut berada di seberang pondok milik Dewita, yang saat itu sedang menjaga anak-anaknya, sementara suaminya bekerja. Gundra menyebutkan bahwa tidak ada orang lain dalam radius sekitar 200 meter dari tempat kejadian.

Dalam kesaksiannya, Gundra menegaskan adanya bekas bakaran ranting-ranting yang disebut Dewita dilakukan seminggu sebelumnya. Bakaran tersebut dilakukan untuk membuka lahan guna menanam padi, cabai, dan singkong di area seluas tiga hektare. Namun, api aktif yang ditemukan berjarak sekitar 30-40 meter dari lokasi bekas bakaran itu. Gundra juga menyebutkan bahwa titik hotspot berada di kawasan izin konsesi PT ABT dan wilayah Desa Pemayungan.

Ia mengakui bahwa tradisi “merun” atau membakar dalam skala kecil untuk berladang adalah kearifan lokal masyarakat setempat. Gundra menyatakan bahwa Dewita melakukan pembakaran dengan penjagaan hingga api padam, sesuai tradisi setempat. Namun, ia juga menyoroti tanggung jawab PT ABT dalam mengelola konsesi mereka yang tumpang tindih dengan wilayah Desa Pemayungan.

Keterangan Saksi Imran bin M. Somad

Imran, sebagai Koordinator Pemadam Kebakaran PT ABT, mendukung sebagian besar pernyataan Gundra. Ia menyebut bahwa lokasi bekas bakaran ditemukan di area konsesi PT ABT berdasarkan koordinat GPS. Meski demikian, saat patroli dilakukan, tidak ada api yang menyala, hanya sisa kebakaran dari dua hari sebelumnya. Imran juga menegaskan bahwa lahan konsesi PT ABT tidak boleh dibakar maupun diduduki tanpa izin sah.

PT ABT, yang memiliki izin konsesi seluas 38.700 hektare, telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang larangan pembakaran dan pendudukan lahan. Namun, menurut Imran, Desa Pemayungan sudah lebih dulu menduduki wilayah yang sekarang masuk dalam konsesi PT ABT. Ia juga menyebutkan bahwa PT ABT menawarkan program kemitraan berupa budidaya tanaman lokal seperti durian dan duku, meski hingga kini belum ada warga yang bermitra dengan perusahaan.

Tumpang Tindih Wilayah dan Tradisi Lokal

Kesaksian ini menggarisbawahi kompleksitas konflik agraria di wilayah tersebut, di mana hak masyarakat lokal berbenturan dengan izin konsesi perusahaan. Tradisi “merun,” yang diakui oleh saksi sebagai budaya masyarakat Pemayungan, bertolak belakang dengan aturan yang diterapkan oleh PT ABT. Sementara itu, Imran tidak sepenuhnya memahami tradisi tersebut, yang mengindikasikan adanya kesenjangan pemahaman antara perusahaan dan masyarakat lokal.

Sidang Berlanjut

Sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim ini ditutup dengan rencana mendengarkan keterangan saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum pada 31 Oktober mendatang. Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi sistem peradilan, tetapi juga sorotan terhadap bagaimana kebijakan konsesi lahan dapat memengaruhi kehidupan masyarakat adat dan lokal.

Kasus Dewita Br Silalahi adalah potret nyata dari perjuangan masyarakat adat dan lokal yang berhadapan dengan kekuatan korporasi. Hingga kini, keadilan bagi Dewita dan masyarakat Pemayungan masih menjadi tanda tanya besar. Apakah keadilan akan berpihak pada mereka yang mempertahankan tradisi dan tanah leluhur mereka?

Kamu Harus Baca Juga ini :