Tak Hanya Jambi, Dari Hulu hingga Hilir Indonesia Jejak Kejahatan Korporasi Ditemukan dalam Selembar Kertas


Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), melakukan dialog publik sekaligus penyampaian sikap. Kegiatan yang mengangkat tema “Selembar Kertas dan Kejahatan Korporasi” ini, berlangsung di Tjikini Lima, Jalan Cikini 1, no 5, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (12/5).
Dalam dialog yang juga dihadiri oleh Rudiansyah Direktur Eksekutif WALHI Jambi, Riko Kurniawan Direktur Eksekutif WALHI Riau, Hadi Jatmiko Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anton P Widjaya Direktur Eksekutif WALHI Kalbar, dan Faturraziqin Direktur Eksekutif WALHI Kaltim itu, mengupas kejahatan koorporasi dari hulu hingga ke hilir.
Lebih dari tiga dekade, hutan tanaman industri (HTI) atau lebih tepat disebut dengan kebun kayu telah menjalankan praktik bisnisnya di Indonesia. Alih-alih didorong sebagai bagian dari “mengatasi” pembalakan liar yang massif di era orde baru, kebun kayu justru pada akhirnya menjadi predator bagi hutan alam dan kawasan ekosistem esensial lainnya, seperti ekosistem rawa gambut.
Dengan dukungan fasilitas negara yang begitu limpah termasuk sokongan pendanaan yang tidak terputus dari lembaga keuangan baik nasional maupun multi nasional, bisnis kebun kayu di Indonesia terus melanggengkan kekuasaannya baik secara ekonomi maupun politik.
Tak tanggung-tanggung, meskipun telah melakukan berbagai pelanggaran hukum, pelanggaran terhadap hak asasi manusia baik hak ekosob maupun sipil dan politik, sektor kebun kayu dengan turunan produksinya berupa pulp dan kertas, menguasai tanah dan hutan Indonesia begitu luas. Lebih dari 10 juta hektar dikuasai oleh korporasi, dan dua raksasa besar yakni Asia Pulp and Paper dan APRIL. Demikian disampaikan oleh Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional.
Dirinya mengatakan, APP bahkan menguasai 2,6 juta hektar di 5 provinsi, yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di sisi yang lain, luasnya penguasaan mereka tidak dibarengi dengan tanggungjawab mereka terhadap konsesinya. Ini dapat dilihat dari realisasi penanaman perusahaan HTI dari tahun 2011 hingga 2015, hanya mampu seluas 2.115.924,27 hektar atau 45,97% dari rencana tanam, hingga mereka terus menyasar hutan alam. Juga kegagalan mereka dalam mengawasi konsesinya terhadap kebakaran. Dan kegagalan mereka dilimpahkan biaya lingkungannya kepada negara dan publik. Sehingga kami menduga kuat, bahwa ini merupakan modus land banking yang dilakukan oleh bisnis kebun kayu.
“Berlembar-lembar kertas yang dihasilkan dengan jejak-jejak yang penuh dengan dugaan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan. Dari hulunya, wilayah Kalimantan yang dijadikan sebagai wilayah penanaman, Sumatera seperti Jambi, Riau dan Sumatera Selatan yang selain memiliki wilayah tanam, juga memiliki mill hingga pengolahan kertas PT. IKPP di Serang Banten yang mencemari sungai Ciujung,” papar Khalisah Khalid.
Dirinya melanjutkan, para raksasa penguasa industri pulp and paper konon memiliki tanggungjawab secara sosial dan lingkungan, seperti komitmen APP – Sinar Mas group lewat Forest Conservation Policy (FCP) yang pada tahun ini memasuki tahun ke-5. Namun fakta di lapangan menunjukkan, bahwa komitmen tersebut tidak lebih hanyalah bagian dari pencitraan sebuah industri yang mendapatkan banyak sorotan dari masyarakat global, dengan berbagai fakta kejahatan yang dilakukan.
Tewasnya Indra Pelani, pemuda tani Tebo Jambi di konsesi PT. WKS menunjukkan wajah militeristik industri kebun kayu ini, atau putusan bersalah terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) dalam kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan.
Hingga saat ini, tidak ada perubahan yang mendasar bagi korporasi untuk bergerak lebih maju pada upaya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan.
“Jika demikian, kami tentu mempertanyakan sesungguhnya sustainability itu untuk apa dan bagi siapa? Kami menilai bahwa sustainibilty justru lagi-lagi untuk melanggengkan bisnis mereka dan kekuasaan yang terus mengambil peran melindungi atau korporasi, bahkan pada perusahaan-perusahaan yang terbukti telah melakukan pelanggaran hukum dengan atas nama keberlanjutan investasi. Kebijakan landswap menjadi satu bukti, bahwa negara justru menjadi bagian dari lingkar impunitas terhadap kejahatan korporasi, dan negara sedang merencanakan sebuah konflik baru dan mendesign bencana ekologis di masa yang akan datang,” tegasnya.
Pada akhirnya, sambung Khalisah Khalid, jika negara tidak mau dikatakan sedang melakukan kejahatan lingkungan atau pelanggaran HAM itu sendiri, maka WALHI mendesak kepada negara untuk menjalankan kewajiban Konstitusinya dengan memutus rantai impunitas terhadap bisnis yang melakukan kejahatan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan mereview perizinan di sektor kebun kayu.
Demi kepentingan penyelamatan hutan alam dan terlindunginya wilayah kelola rakyat, tambahnya, moratorium berbasis capaian untuk minimal 25 tahun menjadi urgensi yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, dengan tujuan membenahi carut marutnya tata kelola hutan dan sumber daya alam di Indonesia.
Sumber : Nuansa Jambi

Jadilah Bagian dari WALHI Jambi

AYO BERDONASI

Tidak ada hal yang sepele dalam gerakan penyelamatan lingkungan

Kunjungi Kami di Instagram

Kamu Harus Baca Juga ini :