AMPUH, Sumatera
Ekspansi massif perkebunan sawit sampai kebun kayu atau hutan tanaman industri (HTI) menyebabkan lahan gambut Sumatera, rusak parah. Ia juga menimbulkan konflik, perampasan lahan dan kerusakan lingkungan. Menyikapi masalah ini, masyarakat dari tiga provinsi, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, bersama beberapa organisasi lingkungan mendeklarasikan jaringan masyarakat gambut Sumatera di Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (22/7/13).
Ekspansi massif perkebunan sawit sampai kebun kayu atau hutan tanaman industri (HTI) menyebabkan lahan gambut Sumatera, rusak parah. Ia juga menimbulkan konflik, perampasan lahan dan kerusakan lingkungan. Menyikapi masalah ini, masyarakat dari tiga provinsi, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, bersama beberapa organisasi lingkungan mendeklarasikan jaringan masyarakat gambut Sumatera di Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (22/7/13).
Irsyadul Halim, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) mengatakan, kerusakan hutan gambut di Riau lebih dari 50 persen. Seluruh konsesi di atas lahan gambut Riau mencapai 1,2 juta hektar dari 4,04 juta hektar.
“Pemerintah melanggar sendiri aturan yang mereka buat,” kataya dalam rilis kepada media Senin (22/7/13).
Dia mencontohkan, Pulau Padang, dengan kategori pulau kecil bergambut seharusnya tidak boleh ada HTI berdasarkan Kepres 32 dan UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Fakta, konsesi HTI di Pulau Padang sekitar 35.000 hektar.
Dari Jambi, Musri Nauli, Direktur Eksekutif Walhi Jambi mengungkapkan, ekspansi HTI dan perkebunan sawit telah merusak 70 persen kawasan gambut di tiga kabupaten, yakni, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. “Luas kawasan gambut Jambi mencapai 713.838 hektar telah kehilangan fungsi ekologis signifikan dalam satu dekade terakhir.”
Kerusakan serupa juga terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel). Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel menyebutkan, ribuan hektar sumber kehidupan masyarakat di lahan gambut terampas kebun sawit di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Antara lain, di Desa Nusantara seluas 1.200 hektar, Desa Marga Tani seluas sekitar 789 hektar dan Dusun Tepung Sari Desa Tirta Mulya 615 hektar.
Warga di sini, kata Sadat, sudah puluhan tahun bekerja keras mengelola lahan gambut menjadi sentra produksi beras produktif. “Masyarakat transmigrasi ini justru di ujung tanduk setelah BPN mengeluarkan HGU kepada PT.SAML mengubah gambut menjadi perkebunan sawit.”
Menurut dia, proses penghancuran lingkungan dan tatanan kehidupan rakyat belum berakhir. Seolah melupakan kebakaran hutan dan gambut, para ilmuan yang diharapkan membela kepentingan lingkungan dan rakyat seperti Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI), justru mengusulkan revisi beberapa peraturan. Keadaan ini akan memperlancar ekspansi HTI dan sawit di kawasan gambut. Deklarasi ini dilakukan antara lain Walhi Nasional, Scale Up,Walhi Riau, Walhi Jambi, Walhi Sumsel, Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi dan SPS.
Usulan HITI dan HGI
Entah ini aneh binti ajaib atau tidak, kala kerusakan lingkungan parah, salah satu dampak eksploitasi di lahan gambut “para ilmuan’ mengusulkan revisi aturan ‘penjaga gambut.’
Pada seminar bertajuk Pengelolaan Lahan Berkelanjutan diselenggarakan HITI dan HGI pada 17 Juli 2013, mengusulkan revisi beberapa peraturan pemanfaatan lahan. Menurut HITI dan HGI secara ilmiah tak tepat diterapkan karena Indonesia bisa kehilangan peluang pertumbuhan.
Pada seminar bertajuk Pengelolaan Lahan Berkelanjutan diselenggarakan HITI dan HGI pada 17 Juli 2013, mengusulkan revisi beberapa peraturan pemanfaatan lahan. Menurut HITI dan HGI secara ilmiah tak tepat diterapkan karena Indonesia bisa kehilangan peluang pertumbuhan.
Mereka mengusulkan revisi peraturan Keputusan Presiden (Kepres) No.32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah (PP) No.150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa. Lalu PP No.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Instruksi Presiden (Inpres) No.6 tahun 2013 tentang perpanjangan penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut, pun jadi usulan revisi mereka.
Yuswanda A Tumenggung, Ketua HITI dikutip dari Investor.co.id, mengatakan, peraturan-peraturan ini tidak sesuai perkembangan ilmu dan teknologi. “Beberapa peraturan sudah usang hingga perlu ditinjau kembali. Beberapa UU yang menjadi dasar peraturan itu pun telah direvisi.”
Yuswanda A Tumenggung, Ketua HITI dikutip dari Investor.co.id, mengatakan, peraturan-peraturan ini tidak sesuai perkembangan ilmu dan teknologi. “Beberapa peraturan sudah usang hingga perlu ditinjau kembali. Beberapa UU yang menjadi dasar peraturan itu pun telah direvisi.”
http://ampuh.org/2013/07/jaringan-masyarakat-gambut-sumatera-dideklarasikan/