WALHI mencatat pada tahun 2015 pembakaran hutan dan lahan menimbulkan titik api sebanyak 129.000 di seluruh Indonesia, merampas kemerdekaan 40 juta penduduk atas udara yang bersih, mengakibatkan kematian 21 orang dan menghentikan aktivitas ekonomi sosial setidaknya 9 provinsi.
Per-Oktober 2015, POLRI menetapkan 247 tersangka. Sebanyak 230 tersangka perseorangan dan 17 korporasi, dari 262 laporan yang diterima. Sedangkan KLHK melakukan pembekuan izin terhadap 16 perusahaan, pencabutan izin perusahaan serta 10 kasus gugatan hukum.
Sementara, perusahaan yang teridikasi terlibat dalam kebakaran massif tahun 2015 mencapai 446 entitas perusahaan yang terdiri dari 308 perusahaan sawit, 71 perusahaan HTI dan 60 perusahaan HPH.
Dalam pandangan WALHI, penegakan hukum menjadi syarat mutlak untuk dapat dilaksanakan pemerintah secara masive, untuk menjalankan kewajibannya memberikan rasa aman dan perlindungan hak dan akses konstituennya terhadap lingkungan yang baik dan sehat.
Selain itu penegakan hukum diharapkan dapat dijalankan dengan serius dan sistematis untuk dapat menemukan fakta fakta bagi pemerintah dan publik, agar dapat menemukan modus operandi dan solusi nyata bagi penghentian kejahatan lingkungan.
Hanya saja dalam prosesnya, penterjemahan intruksi Presiden dalam pelaksanaan penegakan hukum masih jauh dari dari fungsinya sebagai panglima pemenuhan rasa adil bagi rakyat, justru kemudian menjadi bagian yang digunakan oleh korporasi menjalankan skenario penggunaan api untuk menggusur hak dan akses rakyat terhadap ruang dan sumber dayanya, dan menyasar pelaku utamanya adalah masyarakat.
Di level daerah, Instruksi Presiden untuk mengurangi kebakaran dan kabut asap telah ditumpangi agenda korporasi, bekerjasama dengan aparatus daerah untuk membebaskan diri dari tuduhan sebagai penjahat lingkungan. Pemerintah menegasikan 60 persen penduduk Kalimantan Barat adalah petani dan Masyarakat Adat.
Kapolda Kalimantan Barat mengeluarkan maklumat pelarangan membakar bagi siapa saja tanpa terkecuali. Dan aparat TNI bersenjata lengkap melakukan patroli keliling kampung mencari dan menangkap masyarakat yang hendak membakar ladangnya.
Selain berhasil menegaskan posisi masyarakat sebagai pelaku utama penyebab kebakaran, praktik buruk korporasi akan terus dilanggengkan. Bukannya melakukan penegakan hukum kepada korporasi, Pemda lebih sibuk memfasilitasi dan meresmikan program desa siaga api yang diinisiasi oleh korporasi.
Direktur WALHI Kalimantan Timur, Fathur Raziqin mengatakan bahwa Konflik wilayah kelola rakyat (ladang) yang bersinggungan dengan konsesi dibiarkan berlarut-larut hingga kini, hanya karena perusahaan tersebut dikenakan sanksi lalu berusaha mengkriminalisasi masyarakat di sekitar konsesi sebagai upaya pengalihan tanggungjawab terjadinya kebakaran di wilayah konsesi.
Peristiwa Karhutla 2015 di Kaltim mengindikasikan lemahnya posisi pemerintah daerah dalam mengontrol aktivitas perusahaan. Tidak hanya penegakan hukum, kepatutan perusahaan pemegang konsesi juga seharunya menjadi pintu masuk untuk memperbaiki tata kelola perijinan. Sehingga moratorium yang sedang berjalan tidak sedang memberikan keistimewaan perusahaan untuk menghindarkan dari tanggunjawabnya. Dan membiarkan masyarakat berhadap-hadapan dengan perilaku buruk perusahaan.
Dari peran dan progres hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hingga saat ini, WALHI Melihat tumpulnya fungsi hukum selain dipengaruhi oleh penyimpangan fungsi dan rendahnya kapasitas pada lembaga penegak hukum, juga dipengaruhi oleh terbentuknya celah penghentian proses pada tahapan proses hukum karena proses penyelidikan, penyidikan hingga tuntutan terpisah pada lembaga yang berbeda.
“SP3 kasus tersangka 15 korporasi di Riau menunjukkan melemahnya komitmen negara melawan asap dan menjadi preseden yang buruk terhadap kinerja penegakan hukum untuk menuntaskan persoalan asap yang terjadi selama ini. SP3 kepada korporasi ini menunjukkan penegak hukum takluk kepada pemodal dan di mata publik sekali lagi terbukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tegas Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau dalam siaran persnya, Rabu (24/8).
Lemahnya sistem, materi dan sumberdaya penegakan hukum di Indonesia terhadap white coral crime dalam kasus karhutla terlihat gamblang pada arah penegakan hukum yang menyasar masyarakat kecil dan pengaburan proses terhadap korporasi dalam bentuk SP3 kasus kasus pembakaran lahan oleh perusahaan.
Proses SP3 massal oleh Polda Riau terhadap korporasi bukan kali ini saja, tahun 2008 yang lalu, SP3 juga diterbitkan terhadap 14 perusahaan pelaku Illegal Loging di Riau, bahkan 3 dari 14 perusahaan tersebut tahun 2015 ini menjadi bagian dari 15 Perusahaan yang mendapat SP3 dalam kasus pembakaran hutan.
“Penegakan hukum kepada korporasi yang sengaja membakar ataupun lahannya terbakar di Kalimantan Barat belum dilakukan dengan serius. Selain persoalan rendahnya kapasitas penegak hukum dalam menemukan alat bukti yang selalu saja menjadi alasan penghentian penyidikan dan penyelidikan kasus karhutla, tidak adanya komitmen penegakkan hukum kepada korporasi adalah refleksi dari tidak adanya niat negara untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit dan investasi skala besar berbasis hutan dan lahan,” demikian disampaikan Direktur WALHI Kalbar, Anton Priyani Widjaya.
Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan menyatakan lemahnya penegakan hukum terhdap korporasi, khususnya group-group besar.
“Dari data yang diolah WALHI Sumsel menunjukkan bahwa Aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun KLHK sampai saat ini hanya bertaring kepada masyarakat/Individu namun menjadi macan Ompong ketika berhadapan dengan Koorporasi (38 kasus ditangani Polda 26 kasus adalah kasus individu). Contoh kasus Pembakaran hutan seluas 280.999 Hektar yang melibatkan 4 korporasi besar milik Asia Pulp and Paper (APP) di kabupaten OKI dan Kabupaten Musi Banyuasin sampai saat ini tidak tersentuh hukum dan diberi sanksi, baik administrasi, pidana maupun perdata,” ungkapnya.
Menolak polusi asap kebakaran hutan dan lahan namun tak bernyali menegakan hukum lingkungan terhadap korporasi adalah bentuk kekerasan dan Kejahatan lingkungan sesungguhnya.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI bahwa komitmen Presiden untuk review perizinan, penegakan hukum, pemulihan dan pengakuan wilayah kelola rakyat tidak mampu diterjemahkan secara benar oleh Kementerian dan Lembaga Negara terkait, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Dengan situasi seperti ini, kami mendesak Presiden memimpin langsung penanganan kebakaran hutan dan lahan, khususnya dalam upaya menjerat kejahatan korporasi sesuai dengan komitmennya.
Dalam hampir dipastikan penegakan hukum pada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut berwajah buram, jika upaya penegakan hukum hanya dilakukan secara normatif seperti selama ini. Sehingga diperlukan sebuah terobosan hukum yang dapat menjangkau kejahatan korporasi yang selama ini justru menunggangi kekuasaan atau pengurus negara, termasuk aparat penegak hukum dan pengadilan. KPK bisa mengambil peran ini dengan menarik korporasi sebagai pelaku dalam kasus-kasus korupsi di sektor SDA yang merugikan negara, rakyat dan lingkungan hidup.
“Hal yang lain, salah satu terobosan hukum antara lain melalui pengadilan lingkungan hidup, sebuah pengadilan yang khusus yang dibentuk dengan aparat penegak hukum dan peradilan yang memiliki perspektif lingkungan hidup dan kapasitas yang mumpuni dalam menangani tindak kejahatan korporasi, khususnya group-group perusahaan perkebunan baik sawit maupun HTI”, tutup Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi.
Sumber : http://thetanjungpuratimes.com/2016/08/24/kaburnya-hukum-dalam-kasus-karhutla/
( Agustiandi/dd)